Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis

Pemerhati Pendidikan dan Pegiat Literasi Politik Domestik

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Dari Rex Suprema Lex ke Lex Suprema Rex: Saatnya Hukum Menjadi Raja

28 Juli 2025   08:18 Diperbarui: 29 Juli 2025   13:06 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari Rex Suprema Lex ke Lex Suprema Rex | Gambar: Dokpri/Tuhombowo Wau

Dalam sejarah panjang politik dunia, pertanyaan paling mendasar bukanlah siapa yang berkuasa, tapi siapa yang berhak menetapkan aturan main. Apakah kekuasaan yang menentukan hukum, ataukah hukum yang membatasi kekuasaan? Dalam istilah Latin klasik: Rex Suprema Lex (raja adalah hukum tertinggi), atau Lex Suprema Rex (hukum adalah raja tertinggi)?

Pertanyaan ini bukan sekadar perdebatan filsafat politik kuno. Di Indonesia hari ini, kita sedang menyaksikan tarik-ulur nyata antara dua prinsip tersebut, dengan implikasi yang sangat besar terhadap demokrasi, keadilan, dan masa depan republik ini.

Kekuasaan yang Membentuk Hukum

Realitas politik Indonesia hari-hari ini menunjukkan kecenderungan kuat ke arah Rex Suprema Lex. Hukum kerap berubah mengikuti arah angin kekuasaan. Regulasi dirancang bukan untuk menertibkan kekuasaan, melainkan untuk memantapkannya. Proses legislasi menjadi alat untuk melanggengkan kepentingan, bukan memperjuangkan keadilan.

Tak sedikit pasal lahir bukan dari kebutuhan rakyat, melainkan dari ketakutan para elite terhadap kehilangan kontrol. Bahkan penegakan hukum pun kerap tampil selektif: tajam ke lawan, tumpul ke kawan. Di titik ini, hukum tak lagi independen; ia menjadi kaki tangan kekuasaan.

Dari "Rule of Law" ke "Rule by Law"

Fenomena ini dikenal sebagai pergeseran dari rule of law (supremasi hukum) ke rule by law (penggunaan hukum sebagai alat kekuasaan). Bedanya sangat besar.

  • Dalam rule of law, hukum berada di atas segalanya, termasuk penguasa. Tak peduli siapa yang menjabat, ia harus tunduk pada hukum yang sama.
  • Dalam rule by law, hukum hanyalah instrumen. Ia bisa dibentuk, dibelokkan, bahkan diabaikan demi melayani penguasa.

Model kedua inilah yang mengancam kehidupan bernegara kita hari ini. Demokrasi mungkin masih berlangsung secara prosedural. Ada pemilu, ada parlemen. Namun secara substansial, keadilan dan akuntabilitas makin kabur.

Gejala-gejala yang Kian Terlihat

Dalam beberapa waktu terakhir, publik menyaksikan berbagai manuver hukum yang membingungkan. Ada kasus hukum yang digiring seperti sandiwara. Ada pihak yang mendadak "dibuka dosanya" begitu ia keluar dari barisan kekuasaan, padahal sebelumnya bersih tanpa cela. Ada pula lembaga hukum yang seolah diam saat pelanggaran datang dari dalam lingkaran elite.

Masyarakat pun mulai kehilangan kepercayaan: siapa sesungguhnya yang menentukan benar atau salah? Apakah keadilan masih ada, atau telah dikalkulasi dalam rapat politik?

Saatnya Hukum Menjadi Raja

Jika demokrasi ingin diselamatkan, Indonesia harus berani berpindah haluan: dari Rex Suprema Lex ke Lex Suprema Rex.
Dari kekuasaan yang mendikte hukum, ke hukum yang membatasi kekuasaan.

Ini bukan sekadar jargon normatif. Ini panggilan untuk:

  • Memperkuat lembaga peradilan yang independen.
  • Menjaga integritas pembuat undang-undang dari kooptasi oligarki.
  • Menegakkan hukum secara konsisten, tanpa pandang bulu.
  • Mengembalikan rasa keadilan sebagai dasar kepercayaan rakyat.

Tanpa itu, kita hanya akan terus melihat pertunjukan simulakra: seolah-olah demokrasi berjalan, padahal ia telah dibajak sejak lama.

Demokrasi Butuh Hukum yang Tegak, Bukan Pemimpin yang Perkasa

Negara hukum tidak boleh dikendalikan oleh orang kuat. Ia harus dikendalikan oleh prinsip yang kuat. Dan prinsip itu hanya bisa hidup jika hukum berdiri di atas segalanya, bukan di bawah meja kekuasaan.

Sudah saatnya kita balik arah sejarah.
Bukan Rex Suprema Lex.
Tapi Lex Suprema Rex.

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun