Dalam sejarah panjang politik dunia, pertanyaan paling mendasar bukanlah siapa yang berkuasa, tapi siapa yang berhak menetapkan aturan main. Apakah kekuasaan yang menentukan hukum, ataukah hukum yang membatasi kekuasaan? Dalam istilah Latin klasik: Rex Suprema Lex (raja adalah hukum tertinggi), atau Lex Suprema Rex (hukum adalah raja tertinggi)?
Pertanyaan ini bukan sekadar perdebatan filsafat politik kuno. Di Indonesia hari ini, kita sedang menyaksikan tarik-ulur nyata antara dua prinsip tersebut, dengan implikasi yang sangat besar terhadap demokrasi, keadilan, dan masa depan republik ini.
Kekuasaan yang Membentuk Hukum
Realitas politik Indonesia hari-hari ini menunjukkan kecenderungan kuat ke arah Rex Suprema Lex. Hukum kerap berubah mengikuti arah angin kekuasaan. Regulasi dirancang bukan untuk menertibkan kekuasaan, melainkan untuk memantapkannya. Proses legislasi menjadi alat untuk melanggengkan kepentingan, bukan memperjuangkan keadilan.
Tak sedikit pasal lahir bukan dari kebutuhan rakyat, melainkan dari ketakutan para elite terhadap kehilangan kontrol. Bahkan penegakan hukum pun kerap tampil selektif: tajam ke lawan, tumpul ke kawan. Di titik ini, hukum tak lagi independen; ia menjadi kaki tangan kekuasaan.
Dari "Rule of Law" ke "Rule by Law"
Fenomena ini dikenal sebagai pergeseran dari rule of law (supremasi hukum) ke rule by law (penggunaan hukum sebagai alat kekuasaan). Bedanya sangat besar.
- Dalam rule of law, hukum berada di atas segalanya, termasuk penguasa. Tak peduli siapa yang menjabat, ia harus tunduk pada hukum yang sama.
- Dalam rule by law, hukum hanyalah instrumen. Ia bisa dibentuk, dibelokkan, bahkan diabaikan demi melayani penguasa.
Model kedua inilah yang mengancam kehidupan bernegara kita hari ini. Demokrasi mungkin masih berlangsung secara prosedural. Ada pemilu, ada parlemen. Namun secara substansial, keadilan dan akuntabilitas makin kabur.
Gejala-gejala yang Kian Terlihat
Dalam beberapa waktu terakhir, publik menyaksikan berbagai manuver hukum yang membingungkan. Ada kasus hukum yang digiring seperti sandiwara. Ada pihak yang mendadak "dibuka dosanya" begitu ia keluar dari barisan kekuasaan, padahal sebelumnya bersih tanpa cela. Ada pula lembaga hukum yang seolah diam saat pelanggaran datang dari dalam lingkaran elite.