Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Anggaran Bikin Pidato Rp 393 Juta, "What's Going On, Pak Anies?"

7 November 2019   03:41 Diperbarui: 7 November 2019   03:42 8715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan | Gambar: KOMPAS.com

Kurang lebih dua minggu belakangan ini, rencana APBD 2020 DKI Jakarta menjadi sorotan publik. Bukan hanya warga ibu kota yang mempersoalkan beberapa poin rencana anggaran yang dinilai janggal, namun mereka yang notabene warga daerah lain ikut membahasnya, baik di dunia maya maupun nyata.

Bagaimana tidak, pada rancangan Kebijakan Umum Anggaran-Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) DKI Jakarta terdapat sekian mata anggaran yang sulit diterima akal sehat, mulai dari jenis kebutuhan hingga jumlah biayanya yang terbilang fantastis.

Misalnya saja ada anggaran Rp 5 miliar untuk influencer, Rp 82,8 miliar untuk membeli lem Aibon, Rp 73 miliar untuk pengecatan jalur sepeda, Rp 124 miliar untuk membeli ballpoint, Rp 121 miliar pengadaan komputer, Rp 166,2 miliar pengadaan septic tank, Rp 75 miliar bayar konsultan revitalisasi Ragunan, Rp 8,9 miliar pengadaan peralatan tenis meja,Rp 21 miliar gaji TGUPP, Rp 491 juta untuk membeli gunting rumput, dan sebagainya.

Mengapa deretan anggaran di atas terangkat ke permukaan? Hal itu berawal ketika salah seorang anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang bernama William Aditya Sarana mengkritik rencana pembelian lem Aibon oleh Suku Dinas Pendidikan Jakarta Barat.

Akhirnya yang terjadi berikutnya adalah semua anggaran-anggaran lainnya diminta dibongkar oleh anggota DPRD DKI Jakarta untuk dibahas dan direvisi, meskipun pihak Pemprov DKI Jakarta tetap enggan memberikan draf atau salinan KUA-PPAS dalam bentuk hard copy.

Bahkan Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi mengaku belum mendapatkan salinan KUA-PPAS, yang kemudian dibantah oleh Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Mohamad Taufik. Menurut Taufik salinannya sudah diserahkan sejak 5 Juli 2019.

"Sudah dari 5 Juli dapat dokumen KUA-PPAS. Semua itu kan ditujukannya untuk pimpinan DPRD 5 Juli loh. Iya nih saya kasih lihat suratnya. Pak Pras mungkin lupa," kata Taufik (6/11/2019).

Barangkali betul Prasetyo lupa, tapi bukankah dalam rentang tiga bulan data KUA-PPAS bisa mengalami perubahan (di-update)? Bagaimana pula dengan anggota DPRD yang baru pertama kali terpilih (contohnya William dan rekan-rekan) yang berhak meminta hal yang sama dan sejatinya wajib dipenuhi?

Inilah yang tidak dipahami oleh Taufik dan jajaran pejabat Pemprov DKI Jakarta. Mereka lupa kalau sebagian anggota DPRD DKI Jakarta berwajah baru dan belum menerima salinan KUA-PPAS. Tapi sudahlah, mungkin kendalanya miskomunikasi atau terdapat unsur kesengajaan untuk berpura-pura lupa.

Di atas tadi belum sempat disebut, dan inilah yang ingin dibahas lebih lanjut. Ternyata selain anggaran-anggaran janggal yang sudah diuraikan, masih ada satu lagi, yang tampaknya layak dikupas dan nikmat dikunyah. Apa itu?

Anggaran pembuatan naskah pidato Gubernur Anies Baswedan sebesar Rp 393 juta, padahal di anggaran yang sedang berlangsung (tahun ini) hanya sebesar Rp 120 juta. Artinya naik sebanyak Rp 273 juta.

Mengapa bisa terjadi pembengkakan yang luar biasa? Alasannya yaitu ada penambahan personil tim, saat ini dua orang dan untuk tahun depan dibuat jadi empat orang.

Selanjutnya, bukan cuma penambahan personil tim, tetapi gaji untuk membayar para "ahli pidato" tersebut ikut dinaikkan. Dari Rp 5 juta per bulan menjadi Rp 8,2 juta per bulan. Kenaikannya berarti sebesar Rp 3,2 juta. Fantastic!

Dan ada fakta lain, ternyata anggaran ratusan juta itu tidak hanya usulan Biro KDH-KLN Pemprov DKI Jakarta, namun juga oleh Suku Dinas Informatika Kepulauan Seribu, yaitu sebesar Rp 240 juta. Kalau ditotal menjadi Rp 633 juta.

Kok bisa terjadi duplikasi anggaran? Tidak ada yang tahu, mungkin ulah siluman jadi-jadian. Karena saat diminta konfirmasi, Kepala Biro KDH-KLN DKI Jakarta Mawardi mengaku tidak mengetahui mengenai duplikasi dari anggaran tersebut. Aneh, bukan?

Yang lebih aneh lagi, pada mata anggaran usulan Biro KDH-KLN sendiri terdapat data yang mustahil diterima akal sehat, yaitu jumlah penerima honorarium (gaji) tercatat "6,5 orang".

Data aneh tersebut diungkap oleh Rahmat, peneliti Indonesia Budget Center (IBC). Dan lagi-lagi disanggah Mawardi, yang menurutnya terjadi karena masalah teknis memasukan data. Seperti pengakuan para pejabat sebelumnya di kasus anggaran lain, alasannya "salah input".

Seribu pertanyaan, seribu pula alasan. Mestinya bukan alasan, tapi jawaban. Alasan termasuk jawaban, namun tetap masih sulit diterima akal sehat orang-orang sehat.

Pertanyaan terakhir, entah siapa yang bersedia dan mampu menjawabnya. Betulkah penambahan personil pembuat naskah pidato merupakan keinginan Anies atau jangan-jangan sekadar mengakali anggaran saja?

Kalau betul keinginan Anies, apakah itu juga kebutuhan? Haruskah empat orang? Untuk pembuat naskah pidato dalam jenis bahasa apa? Bukankah selama ini Anies tetap percaya diri menyampaikan pidato meskipun pembuat naskahnya hanya dua orang?

Terkait keberadaan tim pembuat naskah, apakah menyusun pidato Anies adalah satu-satunya profesi mereka sehingga wajib dibayar Rp 8,2 juta per bulan?

Sebagai pimpinan tertinggi di Pemprov DKI Jakarta, Anies mestinya berpikir bijak dan kritis supaya tidak terjadi penghambur-hamburan uang rakyat. Termasuk mengapresiasi pihak-pihak yang turut membantu "menyisir" rencana APBD 2020.

Anies tidak boleh berhenti 'memaksa' bawahannya untuk merevisi anggaran-anggaran janggal, seperti yang sempat dilakukannya pada Rabu, 23 Oktober 2019.

"Beli kertas Rp 213 miliar, tinta printer Rp 400 miliar. What's going on, Bapak-Ibu?", ujar Anies.

Maka kritikan dan pertanyaan yang sama dari warga DKI Jakarta, "Anggota tim pembuat naskah pidato 4 orang. Masing-masing digaji Rp 8,2 juta per bulan. What's going on, Pak Anies?".

***

[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun