Mohon tunggu...
Yoshua Reynaldo
Yoshua Reynaldo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang : Kristen, Filsuf Stoa amatir, penikmat sejarah era tengah dan modern, dan manusia yang terbiasa menganalisis dan kritis pada banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Reklamasi Teluk Jakarta, Perlunya Berfikir Kritis

29 Juli 2016   21:40 Diperbarui: 29 Juli 2016   21:58 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Reklamasi Pantai Utara tampaknya masih jadi Trending Topic hingga sekarang, terlebih saat pembahasan masalah Reklamasi semakin berarah ke politik daripada teknis atau saintifik, apalagi digoreng dengan Gubernur Ahok dan Presiden Jokowi yang memiliki bias ke arah pro-Reklamasi. Beberapa kritikus, mulai dari orang awam hingga laskar padang pasir mulai mencuap-cuap 'argumentasi' mereka di media sosial.

Hal ini mengingatkan saya ke salah satu orang yang kontra reklamasi yang tanpa sengaja dipicu oleh bahan pembicaraan kami yang mengatakan dasarnya reklamasi tidak 

Menurut saya tipikal kompasianer dan netizen mayoritas memang seperti ini. Alasannya hanya berkisar dengan WALHI, mengatakan antek Kapitalis, merusak budaya, merusak lingkungan, berpotensi korupsi, menggunakan sumber tunggal, dan sebagainya yang sebenarnya semuanya adalah meracuni posisi lawan tanpa MENJAWAB dan MEMBAHAS esensi masalah yang ada.

Dalam dunia akademis, kalau anda mempresentasikan secara publik hal seperti ini tanpa uraian, anda sudah pasti akan ditertawakan. Hal di atas tidak lebih adalah hipotesis dan kondisi umum yang dibesar-besarkan, cocok memang bagi orang yang terbias terlalu parah dan memiliki kekosongan dalam beropini. Hal ini bisa dilakukan siapa saja yang tidak memiliki pengetahuan dalam hal yang bersangkutan. Intinya, tukang servis motor atau tukang sayur keliling juga bisa bicara seperti ini. Parahnya lagi, tampaknya hal ini menjalar seperti virus, terutama di daerah yang memang agak terbelakang atau daerah yang tradisional. Tidak heran, mengapa beberapa tradisionalis Bali menolak mentah-mentah Reklamasi, dan mungkin memang petinggi anti-Reklamasi, sadar atau tidak, memanfaatkan kecenderungan budaya kolektif untuk menguatkan agenda mereka.

Posisi orang anti-Reklamasi, sejatinya bukanlah posisi dengan pemikir yang dengan seksama membahas masalah Reklamasi, beberapa analis di Kompasiana hanya mengulang argumen hukum soal Keppres Tahun 1995. Memang, saya yang pro-Reklamasi saja mengakui, hanya HUKUM yang bisa mengagalkan proyek Reklamasi, karena berkaitan dengan prosedur dan etik. Hanya yang saya lihat banyak kritikus Reklamasi mayoritas tersandung dalam pembahasan saintifik dan teknis, karena memang mereka bukan ahli di bidang itu, dan beberapa terbias sangat parah, hingga salah memahami esensi masalah yang ada dalam proses Reklamasi. Maka dari itu, saya jarang melihat orang kontra-Reklamasi berani berdiskusi di Forum Resmi dan di Kompasiana, orang yang bertaring tajam dari luar pun, tidak komen apa-apa saat ada artikel saintifik yang dipublikasi oleh Kompasianer yang sempat masuk HEADLINE.

Untuk memahami dan memberikan diskusi yang open-ended soal Reklamasi, yang perlu dilakukan akan dibahas sebagai berikut :

1. Menghindari Apriori dan Prejudice Soal Reklamasi

Seringkali Reklamasi sudah dilabelkan buruk dengan konspirasi bisnis dan ekspansi kapitalisme, merugikan rakyat kecil, merusak lingkungan, dan sebagainya. Lucunya, saya yakin, beberapa orang yang menolak reklamasi adalah bagian dari Kapitalisme tersebut. Ada yang bekerja di Pabrik Swasta seperti Indofood, Djarum, AlfaMart Group, Salim Grup dan grup lainnya? Tidak bisa dipungkiri, perusahaan tersebut bukan perusahaan yang docile, tetapi merupakan tipikal Kapitalis yang mengexpansi usaha mereka dengan membeli banyak perusahaan lainnya. 

Adanya kaum kapitalis sebenarnya juga secara langsung dapat meningkatkan taraf hidup dengan membuka lapangan pekerjaan, dimana ada bisnis, di situ ada oportunitas. Dalam mengambil keputusan, sebenarnya yang harus diperhitungkan bukan emosi personal, seperti anda benci Grupnya Budi atau Grupnya Ani, tapi harus menggunakan 'harm principle', jadi, apakah bisnis itu bisa menimbulkan efek negatif ataukah positif? In fact, membangun BISNIS adalah HAK setiap orang, entah dia kaya ataupun miskin.

Apriori lainnya adalah mengatakan hal ini merusak lingkungan, tidak ada yang menyangkal itu. Pasti ada dampak negatif yang terkena, tapi rumah anda dan jalan yang anda sekarang jalan pun, adalah hasil pembangunan yang 'merusak' lingkungan, dari pembukaan hutan, penutupan rawa dan daerah resapan. Dalam beberapa rencana Tata-Ruang Kota pun, risiko 'perusakan lingkungan' pasti ada. Tapi kembali ke atas, berapa kadar lingkungan yang rusak? Dan berapa keuntungan yang bisa didapatkan dari proyek itu? Mungkin saja 'kerusakan lingkungan' itu dampaknya kecil, jadi harus ada detailnya seberapa besar sih masalahnya? Meminjam istilah teman saya : Jangan membesar-besarkan masalah yang hanya sebesar kemaluan kuda laut.

A priori juga termasuk menekankan kontra tanpa esensi secara berlebihan : Misalnya tentang kerusakan lingkungan dan masalah sosial seperti nelayan yang disebutkan, seolah-olah tidak ada solusi. Pemikiran hitam-putih seperti ini tidak produktif dan realistis (ini mungkin mengapa kritikus Reklamasi mayoritas adalah orang awam yang simpel, mereka kurang biasa berfikir dan berargumen dalam problem-solving). Problem Solving memiliki teknik pemilihan keputusan dan penanggulangan atas resiko yang ada. Dengan logika seperti ini, mungkin anda tidak akan main Pokemon GO karena takut 'tertabrak mobil' kalau memainkannya, sehingga mentah-mentah menolaknya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun