OpiniÂ
oleh : Tri wahyudi, Aktivis Peduli Bumi Pertiwi
Demo besar di depan Gedung DPR/MPR sejak 25 Agustus 2025 mengingatkan kita pada satu hal: krisis kepercayaan rakyat terhadap lembaga legislatif sudah sampai di titik nadir. Seruan "Bubarkan DPR" yang menggema sejak awal jelas bukan sekadar teriakan emosional. Itu adalah akumulasi rasa muak masyarakat terhadap bobroknya moralitas wakil rakyat.
Namun menariknya, tuntutan yang semula sederhana dan radikal --- bubarkan DPR --- mulai bergeser. Dari "bubarkan", melebar ke "turunkan tunjangan", "audit kinerja", hingga "usut korban demo". Sekilas terlihat meluas, tetapi sejatinya justru mempersempit. Mengapa? Karena tuntutan induk sudah mencakup semua, sementara perincian teknis malah membuka ruang tawar. Dan ruang tawar inilah yang membuat masalah besar berpotensi direduksi jadi solusi tambal sulam.
Di titik ini kita dihadapkan pada dilema. Apakah DPR memang harus dibubarkan, ataukah cukup direformasi total? Membubarkan DPR memang terdengar heroik, tetapi negara sebesar Indonesia tidak bisa begitu saja berjalan tanpa lembaga perwakilan. Ketiadaan DPR bisa menyeret kita ke arah otoritarianisme, di mana kekuasaan terpusat pada eksekutif atau bahkan militer. Sebaliknya, mempertahankan DPR dalam format bobrok seperti sekarang sama saja membiarkan penyakit beranak pinak.
Karena itu, diskusi bukan sekadar bubar atau tidak bubar. Yang lebih penting adalah bagaimana membangun sistem baru agar DPR benar-benar menjadi rumah rakyat, bukan rumah dagang.
Salah satu akar masalah terletak pada budaya gaji dan tunjangan pejabat yang "wahh". Selama kursi DPR menjadi jalan pintas untuk kaya raya, maka politik akan selalu dipenuhi orang-orang yang motifnya bukan mengabdi, melainkan berburu rente. Partai menjadi pasar kursi, kampanye menjadi investasi, dan rakyat hanya objek untuk meraih legitimasi.
Sudah saatnya kita balikkan paradigma: