Ucapan itu, meskipun lirih, terdengar oleh Fika yang kebetulan lewat. Mata Fika membulat, darahnya terasa mendidih. Ia langsung melangkah masuk ke dalam dapur, mengepalkan tangan. Ia sudah susah payah membuat kue itu semalaman, dan dengan mudahnya ada orang yang mencelanya. Harga dirinya sebagai seorang seniman merasa tersinggung.
Acara ulang tahun berjalan lancar, dan Rafi tampil memukau. Ia membawakan beberapa lagu pop dengan suara bass-nya yang hangat, membuat suasana kafe menjadi lebih intim. Setelah penampilannya selesai, Rafi turun dari panggung, kembali ke sudutnya, dan mulai mengemasi gitarnya.
Tiba-tiba, sebuah tangan kokoh menyentuh bahunya. Rafi menoleh, dan melihat Fika berdiri di sana dengan tatapan tajam, wajahnya masih memerah karena marah.
"Kamu..." Fika memulai, suaranya bergetar. "Kamu yang bilang kueku terlalu manis, kan?"
Rafi menatap Fika, bingung. Ia tidak mengenal perempuan di hadapannya. Wajahnya polos, tanpa sedikit pun rasa bersalah. "Oh, iya. Itu kuemu? Maaf, tapi aku cuma jujur. Itu kan buat masukan," jawabnya, enteng.
Fika terkejut dengan kejujuran Rafi. Wajahnya yang tegang semakin berkerut. "Masukan? Kamu pikir gampang bikin kue sebesar itu? Aku harus begadang semalaman, tahu!"
"Saya tahu," balas Rafi, suaranya tenang. "Tapi sebagai penjual, masukan dari pelanggan itu penting. Daripada mereka tidak kembali lagi, kan? Jadi, kalau ada yang bilang terlalu manis, berarti besok kamu bisa kurangin gula. Kalau ada yang bilang krimnya terlalu kental, berarti besok bisa coba resep lain yang lebih ringan."
Kata-kata Rafi yang lurus dan apa adanya itu bukannya menenangkan, malah semakin membuat Fika kesal. Ia merasa direndahkan. Ia, seorang penyanyi yang pernah berjemah, kini dinasihati oleh penyanyi kafe yang polos.
Fika menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. "Dengar, ya. Aku bukan koki. Spesialisasiku bukan di dapur. Tapi di panggung. Dan aku akan buktikan padamu. Suatu hari nanti, aku akan balas kamu."
Rafi hanya menatap Fika, bingung dengan ancaman itu. "Oke, Mbak. Tapi kalau butuh masukan lagi, bilang saja," jawabnya sambil tersenyum tulus, mengangkat bahu, dan meninggalkan Fika sendirian dengan amarah yang membara.
Fika melotot ke arah punggung Rafi yang menjauh. Ia mengepalkan tangan. Ia berjanji, ia akan membalas Rafi. Fika tahu, ia tidak akan pernah menyerah. Ia akan kembali ke panggung dan menunjukkan pada Rafi, siapa Fika yang sebenarnya.