Epilog: Akar yang Kuat dan Pelukan Takdir
Beberapa minggu berlalu setelah Senja kembali ke Jakarta. Ia mulai menata kembali hidupnya, menghabiskan waktu bersama Jingga dan perlahan menerima kenyataan pahit tentang rahasia keluarga. Rama memahami keputusannya untuk tetap di Jakarta, setidaknya untuk sementara. Ia tetap menawarkan dukungan finansial dan pekerjaan remote agar Senja bisa menyeimbangkan semuanya. Rama pun sering berkunjung ke Jakarta, menghabiskan waktu bersama kedua adiknya, membangun kembali ikatan keluarga yang sempat hilang.
Sore itu, Awan dan Senja menikmati senja di beranda kafe "Senja Rasa" yang hangat, ditemani secangkir kopi. Angin sore berembus lembut, mengibaskan rambut Senja. Mereka bicara tentang rencana masa depan, tentang mimpi-mimpi kecil yang dulu sempat tertunda. Saat tawa mereka memenuhi udara, Awan tiba-tiba merasakan pusing hebat. Pandangannya kabur. Ia memegangi kepalanya, ekspresinya berubah.
"Wan? Kamu kenapa?!" Raut wajah Senja berubah drastis, dari bahagia menjadi ketakutan yang mendalam. Ia melihat Awan memejamkan mata erat, seolah menahan sakit.
"Kepalaku... pusing banget, Senja. Pandanganku... agak kabur," suara Awan terdengar samar, nyaris seperti bisikan. Senja memegang wajah Awan, ada air mata mulai menggenang. Kepanikan merenggutnya.
Di rumah sakit, hasil pemeriksaan keluar. Awan mengidap Retinitis Pigmentosa, sebuah penyakit langka dan progresif yang akan menyebabkan ia kehilangan penglihatan secara perlahan dalam beberapa tahun ke depan. Dokter menjelaskan dengan nada hati-hati, kata-kata mereka terdengar seperti gema di telinga Senja dan Awan. Keduanya terpukul. Senja memegang tangan Awan yang gemetar. Air mata Senja tak berhenti mengalir, tapi kali ini bukan karena kesedihan yang putus asa, melainkan keteguhan yang membaja. Ia menatap Awan, bibirnya tersenyum tulus di balik air mata.
"Wan... kita akan hadapi ini, ya?" bisik Senja, memeluk Awan erat. "Kita akan hadapi semua. Kamu nggak sendiri. Aku matamu, aku kakimu, aku segalanya buatmu. Kita akan belajar lagi, bagaimana mencintai dalam gelap." Awan membalas pelukannya, terisak dalam diam.
Adegan ini bukan akhir yang klise. Ini adalah kejutan di akhir cerita, sebuah alur tak terduga yang mengubah dinamika hubungan Awan dan Senja. Bukan perpisahan yang memisahkan mereka, bukan kebahagiaan sempurna yang instan, melainkan takdir yang tak terduga yang menguji kekuatan cinta mereka pada level yang lebih dalam. Pesan utama adalah bahwa cinta sejati adalah tentang bagaimana kita memilih untuk mencintai dan berjuang bersama, bahkan ketika pelangi hidup terasa memudar di ujung senja. Ini adalah awal dari perjuangan baru, di mana cinta menjadi "mata" bagi yang kehilangan, dan dukungan menjadi "pegangan" bagi yang rapuh. Ini adalah kisah tentang cinta yang melampaui segala keterbatasan, sebuah cinta yang, seperti senja, akan selalu indah meski fana, dan seperti pelangi, akan selalu ada harapan meski badai telah berlalu.
Senja di Ujung Pelangi Tayang setiap hari 3 Episode
Total 10 Episode
#tripvianahagnese