"Aku minta maaf, Wan," Senja memulai, suaranya pelan. Ia menatap Awan, mata mereka bertemu. "Aku nggak jujur sama kamu selama ini."
Awan menghela napas. "Aku tahu, Senja. Bibi Nina sudah cerita semuanya."
Mata Senja membulat. "Bibi Nina? Kapan?"
"Beberapa waktu lalu. Aku khawatir denganmu. Aku paksa Bibi Nina cerita. Dan aku... aku kaget banget, Senja. Aku marah kenapa kamu harus memikul beban ini sendirian." Awan berjalan mendekat, duduk di hadapan Senja. "Tapi, aku lebih marah sama diriku sendiri karena nggak bisa ada di sana buat kamu. Dan aku tahu kamu punya alasan kuat untuk nggak cerita. Kamu mau ngelindungin aku, kan?"
Senja mengangguk, air mata mengalir lagi. "Aku takut kamu ilfil sama aku, Wan. Takut kamu melihat aku beda. Takut kamu nggak mau lagi sama aku."
Awan meraih tangan Senja, menggenggamnya erat. "Dengar, Senja. Kamu itu Senja yang aku kenal. Kamu Senja yang kuat, yang berani, yang punya hati tulus. Masa lalu ibumu, siapa pun ayah kandung Rama, itu nggak mengubah siapa kamu. Kamu tetap Senja-ku. Dan aku mencintaimu, apa adanya."
Ia mengusap air mata Senja dengan ibu jarinya. "Aku tahu ini berat. Aku tahu kamu pasti merasa terluka. Tapi kamu nggak sendiri. Aku di sini. Ada aku, ada Jingga. Dan sekarang, ada Rama juga. Dia sudah banyak membantu kamu, kan? Dia kakakmu."
Senja memandang Awan, hatinya menghangat. Rasa bersalahnya sedikit demi sedikit terangkat. "Rama... dia memang banyak membantu. Dia bilang dia mau menebus kesalahan ayahnya yang sudah menyakiti Ibu."
Awan mengangguk. "Aku tahu. Tapi terlepas dari semua itu, dia sudah membuktikan dia peduli padamu. Dia kakakmu. Kalian punya darah yang sama."
Senja memeluk Awan erat, menumpahkan segala kesedihan dan rasa lega. "Aku kangen banget sama kamu, Wan. Kangen semua ini. Kangen rumah."
"Kamu sudah pulang, Senja," bisik Awan, membalas pelukan itu. "Ke rumah hatimu."