Mohon tunggu...
Trilolorin Sitorus
Trilolorin Sitorus Mohon Tunggu... Freelancer

Online Marketing (Ecommerce) pada salah satu Hotel di Sunset Road

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Buku adalah Jendela Dunia" Refleksi Relawan Literasi Masyarakat

13 Oktober 2025   08:06 Diperbarui: 13 Oktober 2025   08:06 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Kegiatan literasi untuk anak-anak TK. Sumber: foto pribadi. 

Refleksi Peran sebagai Relawan Literasi Masyarakat : Membaca dari Hati, Merenung dari Jiwa, Jendela Literasi untuk Masyarakat Talaud

Oleh : Trilolorin Sitorus (Relima Lokus Kab. Kepuluaan Talaud)

Pendahuluan

Baca juga: Menanti Senja

"Buku adalah jendela Dunia" istilah ini hampir tak pernah terlupakan saya sampaikan disetiap kegiatan berliterasi. Setiap lembar buku adalah jendela-jendela yang merupakan sumber pengetahuan dan informasi yang dapat memperluas pandangan dan membuka wawasan serta meningkatkan imajinasi atau kreatifitas bagi pembacanya. Relawan Literasi Masyarakat (RELIMA) adalah sebuah program yang diinisiasi oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia untuk menjadi penjaga jendela-jendela itu. Merupakan kehormatan menjadi Relawan Literasi Masyarakat (RELIMA) untuk menjadi penjaga jendela-jendela tersebut bagi mereka yang belum berkesempatan membukanya. Awalnya, saya memasuki dunia ini dengan idealisme yang membara---membayangkan senyum anak-anak yang menemukan keajaiban dalam cerita, atau wajah yang tercerahkan oleh pengetahuan baru. Saya yakin, dengan niat baik, segalanya akan berjalan lancar. Namun, perjalanan ini mengajarkan saya bahwa literasi jauh lebih dari sekadar membaca dan menulis. Ini adalah perjalanan yang menantang, penuh dengan realitas yang seringkali tak seindah bayangan, tetapi di situlah letak pembelajaran yang paling berharga.

Refleksi dan Tantangan : Realitas di balik idealisme

Menjadi RELIMA di daerah pedesaan membuka mata saya terhadap berbagai tantangan yang tidak pernah saya pikirkan. Tantangan terbesar adalah kurangnya buku, yang sesuai dengan kebutuhan mereka sebagai petani atau nelayan. Saya ingat, saya mencoba melakukan kunjungan ke perpustakan-perpustakaan desa. Buku yang tersedia hanya buku bantuan dari Perpusnas Nasional RI yang kategori buku bacaan bermutu untuk anak-anak dan masih ada perpustakaan desa yang menyimpan dengan utuh buku bantuan tersebut, sedangkan untuk meningkatakan koleksi buku, program desa belum memberikan perhatian khusus untuk perpustakaan desa. Perpustakaan sekolah, buku-buku yang ada seringkali sudah usang dan tidak beragam. Ini membuat saya harus kreatif. Lembaga Pendidikan seperti Paud baik Kelompok Bermain atau Taman Kanak-kanak serta SD, SMP dan SMA menjadi sasaran yang menjadi fokus dalam berkegitan literasi di lokus Kabupten Kepulauan Talaud.

Tantangan kedua adalah kecakapan literasi. Setiap melakukan kegitan literasi khususnya sekolah tingkat SD dan SMP masih ditemukan beberpa anak yang masih belum cakap atau lancar membaca. Meskipun bisa membaca, kesulitan memahami instruksi sederhana atau memahami informasi dalam buku bacaan. Di momen-momen itu, idealisme saya diuji. Saya bertanya pada diri sendiri, "Apa artinya mengajarkan mereka berliterasi tingkat menengah atau tinggi sementara membaca bagi sebagian dari mereka belum bisa."

Tantangan lainnya adalah perbedaan bahasa sehari-hari. Anak-anak dan masyarakat menggunakan bahasa daerah Sulawesi Utara dalam berkomunikasi sehari-hari., sehingga cenderung lebih sulit menyerap materi atau memahami kata demi kata dalam teks bahasa indoneisa dalam buku yang dibaca. Mereka merasa canggung dalam berkomunikasi jika menggunakan bahasa Indonesia atau sering disebut bahasa buku oleh masyarakat kabupaten Kepulauan Talaud. Ini membutuhkan pendekatan yang jauh lebih personal dan sensitif, bukan sekadar program massal yang seragam.

 Pembelajaran Berharga: Merangkul Realitas, Menciptakan Solusi

Disetiap tantangan, saya belajar untuk beradaptasi dan mengubah cara pandang saya. 

Pertama, saya belajar tentang empati yang mendalam. Saya menyadari bahwa literasi tidak bisa diajarkan secara terpisah dari kehidupan sehari-hari mereka. saya mulai mengintegrasikan literasi dengan kebutuhan nyata. Sebagai contoh, membuat sesi literasi yang mengajarkan cara membaca buku pelajaran sekolah, dengan memahami informasi penting dari materi bahan bacaan tersebut. Sehingga membaca bukan lagi kegiatan pasif, melainkan tahapan dalam memahami isi atau inti bacaan yang berguna dan bermanfaat sebagi sumber ilmu dan pengetahuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun