Essi 222 -- Menggeser Hari Mengubah Janji
Tri Budhi Sastrio
31 Oktober 1984 bagi orang-orang di negara tempat
   Beata Teresa berkarya
Merupakan hari yang luar biasa, karena setelah
   enam puluh tahun lamanya,
Melakukan hal yang sama seperti negara lainnya,
   ini negara mengubahnya.
Dan penyebabnya juga bukan hal yang biasa ...
   kalau tidak bagaimana bisa
Kesepakatan yang telah dijalankan 60 tahun eh,
   tiba-tiba diubah begitu saja?
Seorang wanita tangguh perkasa dan dipercaya
   memimpin tanah para pertapa,
Hanya karena ulah sekelompok orang yang tak ingin
   melihat wanita berkuasa,
Harus meregang nyawa, lalu pralaya dan ... tinggalkan
   sejuta rencana mulia.
Nah, karena hari yang telah 60 tahun diperingati
   sebagai hari menabung dana.
Ternyata tepat persis sama dengan hari peringatan
   meninggalnya sang wanita,
Maka tak ada pilihan lainnya kecuali menggeser
   sehari lebih awal jadwalnya,
Karena rasanya memang kurang mengena jika dalam
   suasana teramat duka
Ada acara lain yang ikut menyela walau urusannya juga
   penting bagi dunia.
Hari Menabung Dunia akhirnya diperingati sehari lebih
   awal supaya semua,
Semua yang di tanah para kaum pertapa dapat
   mengenang kembali, betapa
Sang Indira terkapar meregang nyawa ketika sedang
   jalankan tugas negara.
Filippo Ravizza rasanya tetap angguk-anggukkan kepala
   melihat ini semua
Pertanda bahwa dia dapat menerima, apa yang pernah
   dicanangkan semula
Di jantung Eropa, di kota Milano tepatnya, digeser sehari
   yah ... tidak apa-apa.
Karena peringatan tetap saja akan dilakukan walau
   sehari lebih awal tentunya.
Menggeser hari sepertinya mengubah janji tetapi
   faktanya tetap seperti semula.
Dirayakan di mana-mana guna mendorong anak-anak
   belajar menghemat dana.
Suster Nirmala yang meneruskan jejak dan karya
   sang Beata Mulia dari Calcutta,
Mungkin mempunyai kenangan nyata pada dua
   peristiwa berbeda di negaranya.
Yang pertama ketika wanita luar biasa penguasa India
   sedang meregang nyawa.
Yang kedua ketika wanita luar biasa pengabdi di India
   akan hembuskan nafasnya.
Entah mana yang paling membekas baginya, yang jelas
   itu mengubah hidupnya.
Dan sekarang di India ... kedua wanita pengabdi ini
   diperingati hari kematiannya,
Yang pertama menggantikan hari pengumpulan dana
   sedunia, dan yang kedua
Diperingati enam puluh enam hari sebelumnya, untuk
   menunjukkan pada dunia
Betapa wanita dapat melakukan banyak hal yang luar
   biasa yang tiada duanya.
Masalah dana masalah sulit tidak terkira bagi mereka
   yang tidak punya apa-apa.
Jangankan rekening bank, dana saja tidak pernah punya
   lalu yang ditabung apa.
Tetapi justru di sinilah tantangannya bagaimana
   membuat kaum miskin di dunia
Pada akhirnya punya yang namanya rekening tempat
   menyimpan uang mereka.
Apa yang dirasa hanya ada di langit sana dan milik
   mereka yang kaya raya saja
Pada akhirnya turun juga ke bumi di dekat mereka
   dan yah, mereka juga punya.
Inilah tujuan utamanya sehingga semua bank hari itu
   harus membuka kantornya.
Hari minggu juga tidak apa-apa kecuali memang hari
   libur nasional satu negara.
Hanya saja apa sih pentingnya punya rekening bank
   segala bagi yang hina papa,
Yang makanan hari ini saja belum tentu ada, lalu
   bagaimana bisa ada sisa dana?
Pertanyaan ini tentu ada benarnya dan bisa saja
   sang pencetus Filippo Ravizza
Sudah jauh-jauh hari memikirkan karenanya kalau
   sendirian jelas tak akan bisa
Bergabung bersama-sama salah satu solusi
   sederhananya, dan yang namanya
Lembaga swadaya masyarakat yang tekad utamanya
   memang dampingi mereka
Tentu bisa menjadi koordinatornya ... ya, menggalang
   dana betapa pun kecilnya.
Suatu ketika bisa menabung wow .. dapat berjuta
   rasanya terutama bagi mereka
Yang seumur-umur terus menerus menderita ...
   mengharap belas kasih sesama.
Ada yang tertarik guna membantu mewujudkannya
   bagi semua sesama saudara?
Jangan cepat-cepat acungkan jari atau angkat tangan,
   saudara, karena jujur saja,
Yang ditulis dan ditanyakan ini catatan sederhana,
   mudah dikata tetapi ujudnya?
Wow ,,, sejuta orang kaya berkumpul, bergembira,
   pesta-pesta, lalu berbicara
Tentang sedikit dana yang dapat disisihkan guna
   wujudkan harapan sederhana,
Hasil akhirnya belum tentu ada ... lho kok bisa ...
   dana kan sudah pasti ada ...?
Justru di sinilah masalahnya karena sepertinya yang
   dibicarakan melulu dana,
Padahal sama sekali bukan dana walau dana
   nanti memang juga kendalanya.
Yang dibicarakan intinya keadilan, empati dan
   tenggang rasa di antara sesama.
Inilah yang semakin tidak dipunya, inilah yang
   semakin jadi fenomena di dunia.
Pernah tidak ente membayangkan rekayasa serta
   siasat kaum kaya di dunia?
Orang kaya tulus tentu saja ada tetapi sebagian besar
   jagonya berpura-pura.
Bagaimana bisa bumi milik bersama menjadi lebih baik
   bagi yang hina papa,
Jika mereka yang kaya dan berkuasa landasan
   berpikirnya adalah pura-pura?
Bumi dan isinya jelas memadai bagi semua manusia
   yang jadi penghuninya,
Tetapi pasti akan terus kurang jika yang serakah terus
   meningkat jumlahnya.
Serakah dan tidak kenal cukup serta tidak mau
   berbagi ... masalah utamanya.
Dan masalah ini tidak akan berkurang hanya
   dengan orang kaya sisihkan dana,
Guna membantu yang hina papa agar punya
   tabungan dan rekening dunia maya.
Lalu bagaimana ... ini kan pertanyaannya ...
   dan kalau mengharapkan jawabnya,
Jelas tidak ada, tapi analoginya mungkin bisa
   disampaikan sebagai penggantinya.
Ibarat melempar sekarung garam ke tengah
   samudera, samudera tetap asinnya,
Seperjuta persen pun tidak naik kadarnya, garam
   sekarung sudah pasti nasibnya.
Kembali ke India dan lihat contoh nyatanya ... setelah
   sang malaikat dari Calcutta
Menangkan nobel perdamaian dia tolak resepsi jamuan
   makan malam untuknya,
Dengan ringan minta diberi uangnya saja, di India
   banyak yang membutuhkannya.
Tetapi orang miskin, hina dan papa di dunia layaknya
   kan seperti samudera raya,
Sementara 192 ribu dolar kan tidak ubahnya seperti
   sekarung garam analoginya?
Samudera raya bergeming tidak, sementara sekarung
   garam tak jelas rimbanya.
Tetapi lagi-lagi seperti yang telah dikatakan
   sebelumnya, masalahnya ternyata
Bukan di samudera raya, melainkan pada
   karung-karung garam yang tersedia.
Kalau menangani orang lapar, walau perlu dana
   yang tak ada cukup-cukupnya,
Tetapi kan relatif lebih mudah, ajak orang itu,
   sediakan piring, beri roti mentega,
Dan lapar pun hilang seketika, semua puas,
   walau mungkin hanya sementara.
Tetapi bagaimana mereka yang diusir, dibenci,
   diasingkan tidak pernah dicinta,
Sakit, menderita, tak ada yang perduli ... walau
   mereka jelas sesama manusia?
Inilah para penghuni lautan samudera raya yang
   tidak ada tepian dan batasnya.
Lalu siapa yang rela dan setia mengulurkan tangan
   pada mereka ... tidak ada!
Apakah ini artinya dosa paling utama bagi siapa saja
   yang berkuasa dan kaya?
Ha ... ha ... tentu saja tidak, jawab mereka,
   lho apa hubungannya dengan dosa?
Ente yang kena karma, kok gue yang dijadikan
   kamping hitamnya, enak aja ...!
Menggeser hari memang tetap tidak mengubah janji
   tetapi yang inti dan esensi
Tetap jauh di langit tinggi tidak pernah berhasil
   dijangkau dari dulu sampai kini,
Bahkan juga nanti tetap  inggih mawon sami bukan
   karena tak ada yang peduli,
Tetapi karena yang peduli tidak memegang kunci ...
   solusi jauh di perut bumi.
Hari demi hari, persoalan mendera tak henti, yang
   hina papa dan miskin sekali,
Terus saja angka dan jumlahnya bertambah
   setiap hari dan makin menjadi-jadi.
Bukankah kondisi ini awal terjadinya apa yang
   sejarah sebut sebagai revolusi?
Kalau memang ya ... rasanya heran juga melihat
   yang kaya berlimpah materi
Diam tidak bereaksi ... memangnya bukan mereka
   yang jadi korbannya nanti?
Bulan tenggelam tanda hampir pagi, kapal hampir
   karam kok tetap berdiam diri?
Ayo buat gerakan hadirkan nurani, bingkainya rasa
   peduli dan tentu saja empati,
Karena hanya begini ada harapan revolusi tetap
   dalam mimpi dan tidak terjadi.
Â
Essi nomor 222 -- POZ29102012 -- 087853451949