Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Essi Nomor 222: Menggeser Hari Mengubah Janji

10 Mei 2021   06:44 Diperbarui: 10 Mei 2021   06:57 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Essi 222 -- Menggeser Hari Mengubah Janji
Tri Budhi Sastrio

31 Oktober 1984 bagi orang-orang di negara tempat
     Beata Teresa berkarya
Merupakan hari yang luar biasa, karena setelah
     enam puluh tahun lamanya,
Melakukan hal yang sama seperti negara lainnya,
     ini negara mengubahnya.
Dan penyebabnya juga bukan hal yang biasa ...
     kalau tidak bagaimana bisa
Kesepakatan yang telah dijalankan 60 tahun eh,
     tiba-tiba diubah begitu saja?
Seorang wanita tangguh perkasa dan dipercaya
     memimpin tanah para pertapa,
Hanya karena ulah sekelompok orang yang tak ingin
     melihat wanita berkuasa,
Harus meregang nyawa, lalu pralaya dan ... tinggalkan
     sejuta rencana mulia.
Nah, karena hari yang telah 60 tahun diperingati
     sebagai hari menabung dana.
Ternyata tepat persis sama dengan hari peringatan
     meninggalnya sang wanita,
Maka tak ada pilihan lainnya kecuali menggeser
     sehari lebih awal jadwalnya,
Karena rasanya memang kurang mengena jika dalam
     suasana teramat duka
Ada acara lain yang ikut menyela walau urusannya juga
      penting bagi dunia.
Hari Menabung Dunia akhirnya diperingati sehari lebih
     awal supaya semua,
Semua yang di tanah para kaum pertapa dapat
     mengenang kembali, betapa
Sang Indira terkapar meregang nyawa ketika sedang
     jalankan tugas negara.
Filippo Ravizza rasanya tetap angguk-anggukkan kepala
      melihat ini semua
Pertanda bahwa dia dapat menerima, apa yang pernah
      dicanangkan semula
Di jantung Eropa, di kota Milano tepatnya, digeser sehari
     yah ... tidak apa-apa.
Karena peringatan tetap saja akan dilakukan walau
     sehari lebih awal tentunya.
Menggeser hari sepertinya mengubah janji tetapi
     faktanya tetap seperti semula.
Dirayakan di mana-mana guna mendorong anak-anak
     belajar menghemat dana.

Suster Nirmala yang meneruskan jejak dan karya
     sang Beata Mulia dari Calcutta,
Mungkin mempunyai kenangan nyata pada dua
     peristiwa berbeda di negaranya.
Yang pertama ketika wanita luar biasa penguasa India
     sedang meregang nyawa.
Yang kedua ketika wanita luar biasa pengabdi di India
     akan hembuskan nafasnya.
Entah mana yang paling membekas baginya, yang jelas
     itu mengubah hidupnya.
Dan sekarang di India ... kedua wanita pengabdi ini
     diperingati hari kematiannya,
Yang pertama menggantikan hari pengumpulan dana
     sedunia, dan yang kedua
Diperingati enam puluh enam hari sebelumnya, untuk
     menunjukkan pada dunia
Betapa wanita dapat melakukan banyak hal yang luar
     biasa yang tiada duanya.

Masalah dana masalah sulit tidak terkira bagi mereka
     yang tidak punya apa-apa.
Jangankan rekening bank, dana saja tidak pernah punya
     lalu yang ditabung apa.
Tetapi justru di sinilah tantangannya bagaimana
     membuat kaum miskin di dunia
Pada akhirnya punya yang namanya rekening tempat
     menyimpan uang mereka.
Apa yang dirasa hanya ada di langit sana dan milik
     mereka yang kaya raya saja
Pada akhirnya turun juga ke bumi di dekat mereka
     dan yah, mereka juga punya.
Inilah tujuan utamanya sehingga semua bank hari itu
     harus membuka kantornya.
Hari minggu juga tidak apa-apa kecuali memang hari
     libur nasional satu negara.
Hanya saja apa sih pentingnya punya rekening bank
     segala bagi yang hina papa,
Yang makanan hari ini saja belum tentu ada, lalu
     bagaimana bisa ada sisa dana?
Pertanyaan ini tentu ada benarnya dan bisa saja
     sang pencetus Filippo Ravizza
Sudah jauh-jauh hari memikirkan karenanya kalau
     sendirian jelas tak akan bisa
Bergabung bersama-sama salah satu solusi
     sederhananya, dan yang namanya
Lembaga swadaya masyarakat yang tekad utamanya
     memang dampingi mereka
Tentu bisa menjadi koordinatornya ... ya, menggalang
     dana betapa pun kecilnya.
Suatu ketika bisa menabung wow .. dapat berjuta
     rasanya terutama bagi mereka
Yang seumur-umur terus menerus menderita ...
     mengharap belas kasih sesama.
Ada yang tertarik guna membantu mewujudkannya
     bagi semua sesama saudara?
Jangan cepat-cepat acungkan jari atau angkat tangan,
     saudara, karena jujur saja,
Yang ditulis dan ditanyakan ini catatan sederhana,
     mudah dikata tetapi ujudnya?
Wow ,,, sejuta orang kaya berkumpul, bergembira,
     pesta-pesta, lalu berbicara
Tentang sedikit dana yang dapat disisihkan guna
     wujudkan harapan sederhana,
Hasil akhirnya belum tentu ada ... lho kok bisa ...
     dana kan sudah pasti ada ...?
Justru di sinilah masalahnya karena sepertinya yang
     dibicarakan melulu dana,
Padahal sama sekali bukan dana walau dana
     nanti memang juga kendalanya.
Yang dibicarakan intinya keadilan, empati dan
     tenggang rasa di antara sesama.
Inilah yang semakin tidak dipunya, inilah yang
     semakin jadi fenomena di dunia.
Pernah tidak ente membayangkan rekayasa serta
     siasat kaum kaya di dunia?
Orang kaya tulus tentu saja ada tetapi sebagian besar
     jagonya berpura-pura.
Bagaimana bisa bumi milik bersama menjadi lebih baik
     bagi yang hina papa,
Jika mereka yang kaya dan berkuasa landasan
     berpikirnya adalah pura-pura?
Bumi dan isinya jelas memadai bagi semua manusia
     yang jadi penghuninya,
Tetapi pasti akan terus kurang jika yang serakah terus
     meningkat jumlahnya.
Serakah dan tidak kenal cukup serta tidak mau
     berbagi ... masalah utamanya.
Dan masalah ini tidak akan berkurang hanya
     dengan orang kaya sisihkan dana,
Guna membantu yang hina papa agar punya
     tabungan dan rekening dunia maya.

Lalu bagaimana ... ini kan pertanyaannya ...
     dan kalau mengharapkan jawabnya,
Jelas tidak ada, tapi analoginya mungkin bisa
     disampaikan sebagai penggantinya.
Ibarat melempar sekarung garam ke tengah
     samudera, samudera tetap asinnya,
Seperjuta persen pun tidak naik kadarnya, garam
     sekarung sudah pasti nasibnya.
Kembali ke India dan lihat contoh nyatanya ... setelah
     sang malaikat dari Calcutta
Menangkan nobel perdamaian dia tolak resepsi jamuan
     makan malam untuknya,
Dengan ringan minta diberi uangnya saja, di India
     banyak yang membutuhkannya.
Tetapi orang miskin, hina dan papa di dunia layaknya
     kan seperti samudera raya,
Sementara 192 ribu dolar kan tidak ubahnya seperti
     sekarung garam analoginya?
Samudera raya bergeming tidak, sementara sekarung
     garam tak jelas rimbanya.
Tetapi lagi-lagi seperti yang telah dikatakan
     sebelumnya, masalahnya ternyata
Bukan di samudera raya, melainkan pada
     karung-karung garam yang tersedia.
Kalau menangani orang lapar, walau perlu dana
     yang tak ada cukup-cukupnya,
Tetapi kan relatif lebih mudah, ajak orang itu,
     sediakan piring, beri roti mentega,
Dan lapar pun hilang seketika, semua puas,
     walau mungkin hanya sementara.
Tetapi bagaimana mereka yang diusir, dibenci,
     diasingkan tidak pernah dicinta,
Sakit, menderita, tak ada yang perduli ... walau
     mereka jelas sesama manusia?
Inilah para penghuni lautan samudera raya yang
     tidak ada tepian dan batasnya.
Lalu siapa yang rela dan setia mengulurkan tangan
     pada mereka ... tidak ada!
Apakah ini artinya dosa paling utama bagi siapa saja
     yang berkuasa dan kaya?
Ha ... ha ... tentu saja tidak, jawab mereka,
     lho apa hubungannya dengan dosa?
Ente yang kena karma, kok gue yang dijadikan
     kamping hitamnya, enak aja ...!

Menggeser hari memang tetap tidak mengubah janji
     tetapi yang inti dan esensi
Tetap jauh di langit tinggi tidak pernah berhasil
     dijangkau dari dulu sampai kini,
Bahkan juga nanti tetap  inggih mawon sami bukan
     karena tak ada yang peduli,
Tetapi karena yang peduli tidak memegang kunci ...
     solusi jauh di perut bumi.
Hari demi hari, persoalan mendera tak henti, yang
     hina papa dan miskin sekali,
Terus saja angka dan jumlahnya bertambah
     setiap hari dan makin menjadi-jadi.
Bukankah kondisi ini awal terjadinya apa yang
     sejarah sebut sebagai revolusi?
Kalau memang ya ... rasanya heran juga melihat
     yang kaya berlimpah materi
Diam tidak bereaksi ... memangnya bukan mereka
     yang jadi korbannya nanti?

Bulan tenggelam tanda hampir pagi, kapal hampir
     karam kok tetap berdiam diri?
Ayo buat gerakan hadirkan nurani, bingkainya rasa
     peduli dan tentu saja empati,
Karena hanya begini ada harapan revolusi tetap
     dalam mimpi dan tidak terjadi.
 
Essi nomor 222 -- POZ29102012 -- 087853451949

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun