Mohon tunggu...
Trian Ferianto
Trian Ferianto Mohon Tunggu... Blogger

Tips belajar, self development, bisnis, dan solopreneur banyak saya tulis di sini: pinterim.com | Ada hadiah kecil gratis untukmu di sana.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Jika Anda Bukan Pikiran Anda, Lalu Siapakah Anda Sebenarnya?

17 Agustus 2025   10:51 Diperbarui: 17 Agustus 2025   19:29 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siapakah diri Anda sebenarnya? Yang Anda pikirkan atau yang mengamati pikiran Anda? (Sumber: olah AI dengan META AI oleh Penulis)

Pernahkah Anda merasa 'terjebak' oleh label yang Anda berikan pada diri sendiri? 'Saya orangnya pemalu,' 'Saya memang pemalas,' atau 'Saya tidak berbakat.' Label-label ini sering kali terasa seperti sebuah vonis, sebuah fakta yang tidak bisa diubah. Tapi bagaimana jika Anda bukanlah label-label tersebut? Bagaimana jika Anda sebenarnya jauh lebih luas dari semua cerita yang ada di kepala Anda?

Dalam khazanah ACT, ini disebut Diri sebagai Konten (Self-as-Content)-kita mendefinisikan identitas dari cerita-cerita tentang diri kita. Situasi ini kadang menguntungkan jika berujung pemberdayaan, tapi bisa juga merugikan kala konsep diri tersebut justru melumpuhkan kita untuk bertindak.

ACT memperkenalkan sebuah kesadaran untuk 'berkompromi' dengan situasi ini. Alih-alih menjadikan identitas sebagai konten, ACT menawarkan kesadaran untuk menjadikan diri sebagai konteks (Self-as-Context).

Solusinya: Jadilah "Pemain Catur", Bukan "Bidak Catur"

Saat situasi sulit mendera, kita sering terjerumus pada anggapan bahwa kita adalah seorang pemalas, pemalu, dan sebagainya. Anggap saja semua identitas tersebut sebagai bidak-bidak catur. Teknik ini mengajak kita untuk tidak menjadi bidak, melainkan menjadi sang pemain catur-sosok pengamat (konteks) yang sadar atas bidak-bidak artifisial tersebut. Diri kita yang sejati (sang pemain) sebenarnya tidak pernah berubah; bidak-bidak kitalah (identitas) yang berubah-ubah sesuai kondisi, pendidikan, dan pengalaman. Jadilah pemain catur yang dengan sadar memainkan bidak-bidaknya, jangan menjadi bidak catur yang tidak berkuasa dan hanya digerakkan oleh lingkungan.

Ini memang tampak seperti 'permainan' pikiran semata, namun riset ilmiah membuktikan bahwa kemampuan seseorang untuk 'keluar' dari ceritanya dan menjadi pengamat dapat menurunkan aktivitas Default Mode Network (DMN)-jaringan otak yang terus berkelana ke masa lalu dan masa depan yang menyebabkan kecemasan. Dengan bertindak sebagai pengamat, intensitas DMN kita turunkan dan kita beralih ke Task-Positive Network (TPN), yaitu jaringan otak yang fokus pada tindakan positif dan terstruktur. Jika fokus ini sudah terlatih, kita akan lebih bisa mengondisikan diri untuk melakukan hal yang lebih berguna.

Bukan Sekadar Motivasi: Kata Sains dan Kearifan Kuno

Pilar penting dalam ACT ini ternyata memiliki akar yang sama dengan berbagai khazanah kuno.

  • Salah satu literatur olah batin Jawa menyebutkan bahwa kesadaran akan 'ruh sejati'-yang terpisah dari identitas fisik-memiliki semangat yang sama, yang memungkinkan kita untuk 'mengamati' apa yang sedang terjadi pada badan jasmani.
  • Dalam khazanah tasawuf Islam, konsep fana' al-fana' dan ajaran "mati sebelum mati" mengajak kita untuk 'tidak terjebak' dengan kondisi diri fisik. Kita diajak 'mematikan' ego untuk 'menghidupkan' diri sejati yang merupakan tiupan Ruh Ilahi.

Meskipun ujung praktiknya berbeda-di mana ACT bertujuan agar kita lebih berdaya untuk melakukan tindakan berbasis nilai tanpa terhambat gangguan dari self-as-content, sementara konsep sufistik bertujuan untuk penyatuan dengan Tuhan-keduanya sama-sama berangkat dari kesadaran untuk 'terpisah' dari diri yang profan. Mana yang paling cocok dengan Anda? Bisa dipilih salah satu.

 

Latihan Praktis: Cara Bertemu dengan "Diri Pengamat" Anda

  1. Duduklah dengan nyaman dan pejamkan mata sejenak.
  2. Perhatikan pikiran yang datang dan pergi. Amati saja tanpa mencoba menghentikannya atau melakukan penghakiman (judging).
  3. Sekarang perhatikan perasaan Anda. Apakah ada emosi yang hadir? Perhatikan di bagian tubuh mana ia bereaksi (dada sesak, perut hangat, dll.). Amati juga sensasi lain di kulit, tangan, dan kaki Anda.
  4. Lakukan pergeseran kesadaran: dari yang tadinya meyakini semua itu adalah 'Anda', menjadi 'Anda' yang sejati (self-as-context) yang sedang mengamati kemunculan identitas, pikiran, dan perasaan tersebut (self-as-content).

Awalnya latihan ini mungkin tampak sulit. Anda bisa melatihnya di kala meditasi, tafakur, tahanuts, khalwat, atau saat hening menyendiri. Saat Anda sudah terlatih dan secara otomatis dan sadar bisa beralih ke 'mode' pengamat, Anda lebih bisa mengambil kendali atas diri Anda dan tidak lagi terombang-ambing oleh kondisi temporal yang terjadi di hidup Anda. Ujungnya, Anda akan lebih sering merasa stabil di kala badai melanda.

Setelah Anda berhasil memisahkan diri yang sejati (tidak pernah berubah) dengan diri artifisial (yang selalu berubah), kita akan lanjut ke teknik selanjutnya untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai kita. Proses inilah yang nanti akan menjadi langkah awal perubahan menuju perbaikan diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun