Suatu pagi di hari Minggu, saya duduk di bawah pohon dan membaca epilog yang ditulis oleh Emha Ainun Najib untuk buku Sejarah Otentik Nabi Muhammad SAW karya Prof. Dr. Husain Mu'nis (diterjemahkan oleh Dr. Muhammad Nursamad Kamba). Satu pertanyaan terus berulang di kepala saya: "Bagaimana bisa seseorang merangkai kata seindah dan sedalam ini?"
Cak Nun (sapaan akrab Emha Ainun Najib) mampu menyajikan gagasan, pasemon, sindiran, dan tafsir uniknya menjadi sebuah rangkaian tulisan yang bernas sekaligus menggugat. Perpaduan sempurna antara intelektualitas dan jiwa seni yang tinggi.
Kekaguman itu dengan cepat berubah menjadi sebuah pertanyaan yang lebih praktis, sebuah pertanyaan yang mungkin juga Anda miliki. Ini bukan lagi tentang 'bakat', tapi tentang 'proses'. Latihan spesifik seperti apa yang bisa membawa seorang penulis pemula untuk bisa mencapai level kualitas seperti itu?
Pencarian saya atas jawaban itulah yang akhirnya mempertemukan saya dengan buku Free Writing karya Hernowo (alm.).
Singkat cerita, saya mendapatkan semacam validasi bahwa "menulis ya menulis saja". Sangat jarang seorang penulis bisa langsung menghasilkan tulisan yang bagus pada draf pertama. Apalagi untuk pemula seperti saya, menjadi beban tersendiri jika ada ekspektasi untuk langsung sempurna.
Bebaskan Diri dengan "Free Writing"
Teknik Free Writing yang dimaksud di sini yang bisa kita coba seperti ini: setel timer selama 10-15 menit dan buka aplikasi menulis (atau siapkan buku dan pena). Saat timer dimulai, tuliskan saja semuanya yang ada di dalam pikiran. Apapun, tanpa merasa terintimidasi, tertekan, harus bagus, harus sempurna, harus memiliki manfaat, dan pertimbangan lainnya.Â
Tulis saja semua karena tujuan dari Free Writing adalah memecah kebuntuan menulis dan melatih tangan dan otak agar sinkron mengeluarkan apa yang dipikirkan menjadi sebuah tulisan berwujud.
Setelah fase menulis bebas, Pak Hernowo mengajak kita naik tingkat untuk menjadikan menulis sebagai aktivitas "mengikat makna"---istilah khas beliau. Artinya, kita mengikat makna dari apa pun yang kita temukan dalam kehidupan, baik dari perenungan, konten yang dinikmati, buku yang dibaca, atau peristiwa berkesan yang tiba-tiba muncul. Setiap 'input' itu selayaknya menjadi pemicu untuk menuliskannya, tidak peduli seberapa carut-marut hasilnya.
Mengikat Makna dengan Kerangka P-K-A
Template yang ditawarkan Pak Hernowo pada fase ini adalah: tuliskan perasaan yang muncul terhadap konten yang baru kita konsumsi. Sedih, marah, kecewa, atau bahkan bingung. Tuliskan secara deskriptif. Setelah itu lanjutkan dengan kesimpulan yang kita tangkap dari konten/pengalaman tersebut. Jelaskan dengan bahasa kita sendiri.
Dan bagian yang terakhir, berikan argumen pribadi kita atas informasi baru yang kita pelajari; apakah kita menerima sepenuhnya, mempertanyakan, memberikan perbandingan, atau menolak gagasan tersebut.
Tiga kerangka ini---perasaan, kesimpulan, dan argumen pribadi---sudah cukup untuk menjadi sebuah tulisan bernas yang memiliki manfaat: melatih menulis, mengikat makna, dan berlatih berargumentasi kritis.
Di sinilah kemudian saya menemukan benang merahnya dengan buku Writing to Learn karya William Zinsser. Zinsser menyatakan bahwa menulis bisa menjadi bagian krusial dari aktivitas belajar. Kita bisa menguji pemahaman atas sebuah konsep baru dengan cara menuliskannya. Bagi saya, ini ide yang sederhana dan sangat menarik, seolah menggabungkan dua hobi saya: belajar dan menulis.
Uji Pemahaman dengan "Writing to Learn"
Dalam metode Zinsser, kita akan diuji: apakah penjelasan kita bertele-tele, sederhana, atau justru kita kesulitan menjelaskannya? Jika kita mampu menjelaskan secara sederhana tanpa menghilangkan esensi konsepnya, kita layak dikatakan paham. Namun, jika tulisan kita masih 'mbulet' (berbelit-belit), artinya kita perlu menelaah dan belajar lagi. Mungkin ada bagian yang belum kita pahami sehingga kerangka pengetahuan di kepala kita belum utuh.
Metode Zinsser ini bisa melengkapi fase kedua dari kerangka Free Writing Pak Hernowo. Metode yang menarik bagi setiap pembelajar. Kedua penulis sepakat bahwa tulisan pertama tidak harus bagus. Namun, ini menjadi jembatan untuk menjernihkan kembali pemahaman kita saat melakukan penyuntingan atau revisi. Kita akan menemukan bagian mana yang lemah yang akan memicu kita untuk menyelam kembali ke bahan yang baru kita pelajari, atau memperkuat argumen yang telah kita miliki.
Menurut saya, dua buku ini adalah kombinasi yang pas bagi siapa pun yang ingin mengasah kemampuan menulis, sekaligus senang mempelajari hal-hal baru. Dengan begini, kita tidak merasa 'berdosa' karena hanya menjadi konsumen pasif yang menumpuk informasi (information hoarder), tetapi kita punya cara untuk 'melepaskan' tumpukan informasi tersebut dengan menuliskannya.
Sekali lagi, dua buku itu adalah:
Free Writing karya Hernowo (ulasannya pernah saya tulis di Kompasiana)
Writing to Learn karya William Zinsser (rangkuman intinya bisa ditemukan di Pinterim.com)
Masa Depan: Membangun Laboratorium Menulis dengan AI
Saya masih terus membayangkan, bagaimana jika kekuatan dua buku ini diramu menjadi sebuah formula dengan memanfaatkan kecanggihan AI? Pasti akan sangat menarik. Sekilas sudah saya coba, dan hasilnya memang melampaui imajinasi. Saya seolah memiliki laboratorium menulis pribadi dengan memanfaatkan AI---alih-alih membiarkan AI menggantikan keahlian menulis kita sepenuhnya.
Kini giliran Anda. Dari dua metode yang telah dijabarkan, mana yang paling relevan dengan kebuntuan yang sedang Anda hadapi? Apakah kebebasan menulis ala Hernowo, atau ujian pemahaman ala Zinsser? Bagikan pendapat Anda di kolom komentar!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI