Mohon tunggu...
Tria Nareswari Widyandhana
Tria Nareswari Widyandhana Mohon Tunggu... mahasiswa

hobi saya menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Scroll, Percaya, Share : Mengapa Generasi Digital Kita Malah Buta Informasi

9 Juli 2025   02:19 Diperbarui: 9 Juli 2025   02:19 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://kaltara.antaranews.com/berita/458268/awas-penipuan-kuota-internet-gratisan-via-whattsapp

Di era digital saat ini, informasi seolah mengalir deras di depan mata kita melalui semua sosmed yang ada. Dengan hanya beberapa kali klik kita dapat mengakses berita di seluruh dunia. Namun dengan banyaknya informasi yang menyebar banyak juga yang misinformasi dan kemakan oleh hoaks. Lebih dari setengah pengguna digital yang sangat banyak ini masih terjebak oleh jebakan berita palsu.

Beberapa waktu lalu saya menyaksikan bapak saya sedang menyebarkan link yang menjanjikan kuota internet dengan harga murah tersebut di grup WhatsApp keluarga, informasi tersebut ia dapatkan dari grup WhatsApp alumni. Namun, beruntunglah om saya dengan sigap mencegah anggota keluarga yang lain untuk membuka link tersebut. Ia mengingatkan bahwa tetangganya pernah mengalami hal serupa, setelah meng klik link tersebut ponselnya langsung eror dan nomor teleponnya digunakan untuk urusan pinjaman online oleh hacker. Kisah ini bukanlah satu-satunya contoh, melainkan gambaran nyata dari fenomena "scroll, percaya, share" yang telah menjadi konsumsi informasi yang berbahaya dan dapat merugikan banyak orang.

Generasi digital saat ini yang seharusnya menjadi generasi yang cerdas dan juga kritis, justru sering kali terjebak oleh jebakan berita palsu yang menyesatkan. Menurut data dari Survei Asosiasi Penyelenggaraa Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat bahwa jumlah pengguna internet mencapai 221,56 juta dari total populasi 278,69 juta jiwa penduduk indonesia pada tahun 2023.

Dari data temuan Katadata Insight Center (KIC) yang bekerjasama dengan Kementrian Komunikasi dan Informatika serta SiBerkreasii, setidaknya 30% sampai hampir 60% orang indonesia terpapar hoaks saat mengakses dan berkomunikasi melalui dunia maya. Sementara hanya 21% sampai 36% saja yang mampu mengenali hoaks yang biasanya terkait isu politik, kesehatan dan agama. Artinya, dari 221 juta netizen Indonesia, berpotensi 130 juta orang rentan terhadap misinformasi.

Kehadiran Artificial Intelligence (AI) generatif menambah permasalahan misinformasi dengan memanipulasi foto, suara dan video yang bisa diakses siapa saja dengan smartphone biasa. Seperti yang terjadi pada bulan april kemarin terjadi penipuan yang memanipulasi data dengan pemalsuan audio (Deep Fake) menggunakan Artificial Intelligence (AI) mengatasnamakan 3 gubernur dan digunakan untuk aksi penipuan melalui media sosial. Tersangka mengedit narasi video menjadi penawaran motor murah seharga 500 ribu yang diklaim sebagai amanah dari gubernur khusus untuk warga Jatim, Jabar dan Jateng tanpa COD dan surat lengkap, video tersebut di unggah di media sosial untuk menipu masyarakat dengan menawarkan program bantuan fiktif.

https://youtu.be/qNblFlkO-3Y?si=vrcBEQN2YvmZZM-q
https://youtu.be/qNblFlkO-3Y?si=vrcBEQN2YvmZZM-q

Kementrian Komunikasi dan Digital telah berhasil mengidentifikasi serta mengklarifikasi sebanyak 1.925 konten hoaks dan informasi palsu sepanjang tahun 2024. Ironis memang, generasi yang seharusnya menjadi generasi cerdas dengan adanya kemajuan digital justru rentan terhadap misinformasi. Tidak semua orang yang mahir menggunakan teknologi dapat memiliki kemampuan evaluasi informasi yang baik.

Sebagai mahasiswa yang aktif di media sosial, saya mengamati banyaknya orang, termasuk teman-teman saya cenderung melakukan tiga langkah sederhana yang justru sangat berbahaya seperti scroll timeline, percaya dengan informasi yang menurut mereka masuk akal dan langsung share tanpa verifikasi lebih lanjut mengenai informasi tersebut.

Hal-hal tersebut terjadi karena ada fenomena information overload, sehingga kita tidak ada waktu untuk memverifikasi setiap konten yang ada. Lalu ada fenomena conformation bias, dimana kita lebih mudah menerima informasi yang mendukung pandangan kita dan menolak informasi yang bertentangan. Dalam konteks ini media sosial berfungsi sebagai echo chamber, dimana informasi yang dalah dapat terus deprkuat dan disebarkan tanpa adanya kritik yang berarti.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendidikan literasi digital yang harus menjadi prioritas dalam kurikulum pendidikan. Generasi saat ini perlu diajarkan cara mengevaluasi informasi dan mengenali tanda-tanda berita palsu. Selain itu sosial media juga harus bertanggung jawab dalam mendeteksi dan membatasi penyebaran berita palsu. Yang terakhir yaitu kita harus mengubah pola "Scroll, Percaya, Share" menjadi "Scroll, Vertifikasi, Share". Mari kita menjadi menjadi konsumen informasi yang cerdas dengan belajar untuk scroll dengan bijak, percaya dengan kritis dan share dengan tanggung jawab agar kita mengurangi dampak negatif dari misinformasi dan hoaks.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun