Ricik-ricik: Dua Wajah Satu Nama (2)
Oleh: Toto Endargo
Kalau mendengar kata Ricik-ricik, orang Jawa biasanya langsung teringat pada suara gemericik air yang menyejukkan hati. Nama itu ternyata juga hadir dalam dunia karawitan Jawa sebagai sebuah tembang yang populer. Namun, di balik kesamaan namanya, Ricik-ricik menyimpan dua wajah berbeda: versi Banyumasan dan versi Surakarta.
Baca dari: Ricik-ricik: Dua Wajah Satu Nama (1)
Nama Sama, Irama Berbeda
Di tanah Banyumas, Ricik-ricik hidup sebagai tembang rakyat yang ceria. Balungan saronnya khas, pukulan nadanya ringan, lincah, dan riang. Biasanya hadir dalam suasana hajatan, tayuban, atau pentas rakyat. Tembang ini mencerminkan watak wong Banyumasan: egaliter, ceplas-ceplos, dan dekat dengan keseharian.
Sebaliknya, di Surakarta, Ricik-ricik tampil dengan wajah yang lain. Irama dan cengkoknya lebih teratur, penuh unggah-ungguh, dan terkait erat dengan tradisi keraton. Ia mengalun halus, berwibawa, dengan nuansa musikal yang rapi sebagaimana budaya istana Surakarta yang menjunjung kehalusan tata laku.
Perbandingan ini membuat kita sadar: meski sama-sama bernama Ricik-ricik, keduanya tidak bisa dipandang sebagai satu entitas yang identik. Mereka ibarat dua saudara kembar: sama nama, tetapi berbeda perangai dan jiwa.
Perbandingan Balungan: Biar Pembaca Punya Bayangan
Sedikit catatan bagi yang penasaran dengan "isi" musiknya.