Ricik-ricik: Dua Wajah Satu NamaÂ
Oleh: Toto Endargo   Â
Di jagad karawitan Jawa, ada sebuah istilah yang sekilas sederhana namun menyimpan makna berlapis: Ricik-ricik. Banyak orang awam mengira kata ini menunjuk satu gending tertentu, atau bahkan hanya tahu dari tembang Banyumasan yang populer. Padahal, di balik nama yang sama, Ricik-ricik punya dua wajah: versi Surakarta dan versi Banyumasan.
Ricik-ricik Surakarta: Alus dan Keraton
Dalam tradisi karawitan Surakarta, Ricik-ricik adalah nama gending. Bentuknya biasanya ketawang atau ladrang, laras slendro pathet sanga atau manyura. Karakter gending ini lembut, ngalun, penuh kehalusan rasa --- ciri khas musik keraton.
Gending Ricik-ricik Surakarta sering dipakai untuk iringan tari atau dalam suasana yang menuntut kesyahduan. Notasinya tidak ricik dalam arti padat, melainkan ngalir lirih, seakan air bening menetes dari gentong. Ia lahir dalam dunia karawitan pakem, menyatu dengan suasana keraton, dan sampai kini masih diajarkan di berbagai sanggar maupun akademi seni.
Ricik-ricik Banyumasan: Lincah dan Rakyat
Berbeda dengan Surakarta, masyarakat Banyumas mengenal Ricik-ricik sebagai tembang rakyat yang lahir dari pengalaman hidup sehari-hari. Di sini, Ricik-ricik bukan sekadar nama gending, melainkan sebuah rasa musik yang gemricik, ramai, tapi tetap sejuk.
Balungan yang dipukul saron terdengar rapat dan berpantulan, menirukan bunyi gerimis yang jatuh di tanah. Gerongannya khas: "dhua loloo, oo-eng" --- sebuah lengkingan sederhana namun ikonik, yang justru menjadi ciri penghubung di telinga penikmat.
Kisah Suryati Sindhen Blater memberi jejak kuat dalam sejarah Ricik-ricik Banyumasan. Tembang ciptaannya lahir dari pengalaman pribadi: menyambut kedatangan Ki Narto Sabdho ke rumahnya saat hujan gerimis turun. Dari peristiwa kecil itu, lahirlah lirik yang kemudian diaransemen Ki Narto menjadi gending berjudul Ricik-ricik Banyumasan. Artinya, Ricik-ricik Banyumas betul-betul berakar pada laku rakyat, bukan dari keraton.