Kisah ini memperlihatkan bagaimana falsafah Jawa memandang kekuasaan sebagai harmoni antara dua hal: trah (darah) dan wahyu (mandat ilahi). Darah saja tidak cukup; seseorang harus mendapatkan wahyu keprabon untuk benar-benar sah memerintah.
Namun ketika darah dan wahyu bertemu dalam diri seseorang, kekuasaan itu sulit dibendung. Itulah yang terjadi kemudian melalui cucu-cucu Rara Mundhi.
Mas Garendi: Amangkurat V
Darah yang diwariskan Rara Mundhi akhirnya menampakkan diri dalam cucunya: Mas Garendi. Pada masa geger besar tahun 1741--1742, ia diangkat oleh pemberontakan Tionghoa dan para bangsawan Jawa sebagai raja tandingan dengan gelar Amangkurat V.
Kehadiran Mas Garendi menunjukkan bahwa meski Amangkurat III disingkirkan dan putra-putranya dieksekusi, garis legitimasi Onje tidak pernah padam. Dari rahim Rara Mundhi, legitimasi itu kembali menyala, meskipun dalam bentuk perlawanan dan tandingan.
Onje sebagai Simbol
Dari sisi budaya, Onje menjadi simbol penting dalam narasi ini. Ia bukan sekadar desa kecil, melainkan tanah asal seorang gadis yang masuk ke pusaran sejarah Mataram. Dari Onje lahir jejak yang menyambungkan garis Amangkurat III dengan pergolakan besar di Kartasura, bahkan hingga munculnya Amangkurat V.
Falsafah Jawa sering menekankan bahwa "tanah asal" (banyu mili, asal-usul) memiliki pengaruh dalam perjalanan nasib. Onje menjadi titisan sejarah --- dari sana lahir bukan hanya seorang ibu bangsawan, tetapi juga garis keturunan yang terus menerus menantang legitimasi kekuasaan pusat.
Penutup: Jejak yang Tak Pernah Padam
Tragedi 1741 memang mengakhiri hidup Pangeran Tepasana dan Raden Jayakusuma, namun sejarah tidak berhenti di situ. Cucu-cucu mereka, termasuk Mas Garendi, membuktikan bahwa darah Amangkurat III tetap menyala.
Baca selanjutnya: Pahlawan Supriyadi - Pemimpin Pemberontakan PETA di Blitar