Mohon tunggu...
Toto Endargo
Toto Endargo Mohon Tunggu... Peminat Budaya

Catatan dan Pembelajaran Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jejak Onje dalam Takdir (6): Rara Mundhi, Amangkurat III, Tepasana, dan Mas Garendi

31 Agustus 2025   22:15 Diperbarui: 3 September 2025   11:29 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jejak Onje dalam Takdir (6) - ChatGPT

Kisah ini memperlihatkan bagaimana falsafah Jawa memandang kekuasaan sebagai harmoni antara dua hal: trah (darah) dan wahyu (mandat ilahi). Darah saja tidak cukup; seseorang harus mendapatkan wahyu keprabon untuk benar-benar sah memerintah.

Namun ketika darah dan wahyu bertemu dalam diri seseorang, kekuasaan itu sulit dibendung. Itulah yang terjadi kemudian melalui cucu-cucu Rara Mundhi.

Mas Garendi: Amangkurat V

Darah yang diwariskan Rara Mundhi akhirnya menampakkan diri dalam cucunya: Mas Garendi. Pada masa geger besar tahun 1741--1742, ia diangkat oleh pemberontakan Tionghoa dan para bangsawan Jawa sebagai raja tandingan dengan gelar Amangkurat V.

Kehadiran Mas Garendi menunjukkan bahwa meski Amangkurat III disingkirkan dan putra-putranya dieksekusi, garis legitimasi Onje tidak pernah padam. Dari rahim Rara Mundhi, legitimasi itu kembali menyala, meskipun dalam bentuk perlawanan dan tandingan.

Onje sebagai Simbol

Dari sisi budaya, Onje menjadi simbol penting dalam narasi ini. Ia bukan sekadar desa kecil, melainkan tanah asal seorang gadis yang masuk ke pusaran sejarah Mataram. Dari Onje lahir jejak yang menyambungkan garis Amangkurat III dengan pergolakan besar di Kartasura, bahkan hingga munculnya Amangkurat V.

Falsafah Jawa sering menekankan bahwa "tanah asal" (banyu mili, asal-usul) memiliki pengaruh dalam perjalanan nasib. Onje menjadi titisan sejarah --- dari sana lahir bukan hanya seorang ibu bangsawan, tetapi juga garis keturunan yang terus menerus menantang legitimasi kekuasaan pusat.

Penutup: Jejak yang Tak Pernah Padam

Tragedi 1741 memang mengakhiri hidup Pangeran Tepasana dan Raden Jayakusuma, namun sejarah tidak berhenti di situ. Cucu-cucu mereka, termasuk Mas Garendi, membuktikan bahwa darah Amangkurat III tetap menyala.

Baca selanjutnya: Pahlawan Supriyadi - Pemimpin Pemberontakan PETA di Blitar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun