Mohon tunggu...
Toto Endargo
Toto Endargo Mohon Tunggu... Peminat Budaya

Catatan dan Pembelajaran Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jejak Onje dalam Takdir (6): Rara Mundhi, Amangkurat III, Tepasana, dan Mas Garendi

31 Agustus 2025   22:15 Diperbarui: 3 September 2025   11:29 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jejak Onje dalam Takdir (6) - ChatGPT

Jejak Onje dalam Takdir (6): Rara Mundhi, Amangkurat III, Tepasana dan Mas Garendi

Oleh: Toto Endargo

Onje dalam Pusaran Dinasti Mataram

Desa Onje, yang kini hanyalah sebuah titik kecil di Purbalingga, pada abad ke-17 dan 18 memegang peran yang jauh lebih besar daripada yang tampak. Dari tanah inilah lahir Rara Mundhi, seorang gadis yang kelak menikah dengan Amangkurat III --- raja Mataram yang kalah dalam perebutan tahta dengan Pangeran Puger (Pakubuwono I). Pernikahan ini membuat darah Onje berjalin dengan trah raja Mataram.

Amangkurat III sendiri akhirnya kalah dalam konflik perebutan kekuasaan dan diasingkan oleh VOC ke Sri Lanka (Ceylon), tempat ia menghembuskan napas terakhirnya. Namun garis keturunannya tidak serta-merta padam. Melalui Rara Mundhi, darah Mataram terus mengalir dalam diri putra-putranya --- di antaranya Pangeran Tepasana dan Raden Jayakusuma.

Tragedi Politik: Fitnah dan Eksekusi 1741

Pada tahun 1741, saat Jawa dilanda pergolakan besar antara Kartasura dan VOC, dua putra Amangkurat III --- Tepasana dan Jayakusuma --- menghadapi fitnah besar. Mereka dituduh berkonspirasi melawan Pakubuwono II, bahkan dianggap hendak mengembalikan legitimasi garis Amangkurat III yang sudah dianggap "usai" sejak kejatuhan Kartasura pada generasi sebelumnya.

Tanpa melalui pengadilan resmi, mereka ditangkap di istana Kartasura. Eksekusi berlangsung dengan cara yang kejam: dicekik oleh para punggawa keraton. Ini adalah contoh nyata bagaimana politik Jawa kala itu seringkali bergerak dengan kekerasan simbolik dan fisik, bukan lewat prosedur hukum.

Tragedi ini bukan sekadar perebutan tahta, melainkan perebutan legitimasi. Dalam budaya Jawa, legitimasi bukan hanya soal garis darah, tetapi juga soal wahyu keprabon --- mandat ilahi yang dianggap menentukan siapa yang pantas bertahta. Tepasana dan Jayakusuma dipandang sebagai ancaman karena darah mereka masih sangat sah: cucu Amangkurat I, anak dari raja yang digulingkan.

Politik, Budaya, dan Falsafah Jawa: Antara Darah dan Wahyu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun