Mohon tunggu...
Toto Endargo
Toto Endargo Mohon Tunggu... Peminat Budaya

Catatan dan Pembelajaran Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Yuyu Kangkang dan Klenthing Abang di Dunia Nyata

13 Juni 2025   18:15 Diperbarui: 13 Juni 2025   17:56 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Yuyu Kangkang dan Para Klenthing - Meta AI

Yuyu Kangkang dan Klenting Abang di Dunia Nyata
Mencari Jejak Klenting Kuning yang Hilang

Di tengah derasnya arus Sungai Bengawan dalam cerita Ande-Ande Lumut, Yuyu Kangkang menjadi penjaga jahat yang hanya memberi jalan pada mereka yang bersedia menyerahkan harga dirinya.
Ia bukan sekadar makhluk mistis, tapi simbol pemaksaan ragawi dan ancaman terselubung. Kisah ini, yang diwariskan lewat tutur dan tembang rakyat, ternyata menyimpan kritik budaya yang tetap menggema di masa kini.

Namun kini, Yuyu Kangkang tak lagi hidup di air. Ia menjelma dalam bentuk remaja laki-laki yang lihai membujuk, menekan, bahkan memaksa. Ia muncul di balik layar gawai, grup percakapan daring, pesta malam minggu, bahkan di lorong sekolah.

Dan yang lebih menyedihkan, banyak remaja perempuan justru menanggalkan sosok Klenting Kuning yang sabar dan bijak, untuk menjadi Klenting Abang---yang hanya ingin terlihat keren, cepat dewasa, dan instan dicinta.

Ketika Sungai Berganti Layar
Krisis Simbolik dalam Budaya Pop

Fenomena ini bukan sekadar kisah individual. Data dari BKKBN menunjukkan sekitar 50.000 remaja Indonesia mengalami kehamilan di luar nikah. Penyebabnya beragam---dari minimnya pendidikan seksual hingga lemahnya kontrol diri dan absennya figur teladan (CNN Indonesia, 18 Jan 2023).

Kini, fenomena itu semakin nyata dan mengkhawatirkan. Empat bocah perempuan usia 4 -- 6 tahun di Bekasi menjadi korban pencabulan oleh temannya sendiri yang baru berusia 8 tahun (DetikNews, Rabu, 11 Juni 2025). Betapa mencengangkan bahwa anak kelas dua SD bisa menjelma menjadi Yuyu Kangkang kecil. Ia bukan lagi tokoh fiksi atau metafora, tapi realitas yang menyelinap di antara generasi yang kehilangan arah moral sebelum memahami makna tubuh dan batas.

Klenting Kuning, simbol keteguhan dan kebijaksanaan dalam cerita rakyat, kini menjadi barang langka. Yang memilih menjaga diri malah dianggap kolot. Yang berani berkata "tidak" justru diasingkan dari narasi populer.

Dalam budaya kita yang makin terobsesi pada kebebasan tanpa bingkai makna, batasan nilai tak lagi dianggap keren. Klenting Kuning yang tak terjamah Yuyu Kangkang, kalah suara oleh dentuman budaya pop, konten viral, dan hasrat eksistensi di media sosial.
Mereka yang memilih menjaga diri sering terjebak dalam sunyi dan sepi, karena masyarakat tak menyediakan ruang aman untuk bertumbuh dengan martabat.

Paradoks yang Membingungkan
Jilbab, Ceramah, dan Simbol yang Bergeser

Tak hanya itu, kita juga hidup dalam masyarakat yang penuh paradoks. Jilbab, misalnya, dulunya dianggap perhiasan dan simbol kesalehan, kini di sebagian kalangan justru dianggap pengekang kebebasan. Sementara ceramah agama tentang dosa dan neraka begitu mudah diakses, dari televisi hingga kanal YouTube, tapi tak mampu menahan laju penyimpangan. Mengapa? Karena nilai-nilai hanya jadi bunyi, tanpa pengalaman batin dan teladan nyata yang menyentuh remaja.

Simbol-simbol moral diubah maknanya oleh zaman, tapi esensi moralnya belum tergantikan. Kita menghadapi generasi yang dibanjiri informasi, tapi miskin pemahaman; punya akses luas, tapi kehilangan arah.

Saatnya Menciptakan Klenting Kuning Baru
Menanam Nilai di Tengah Arus

Pertanyaannya: ke mana Klenting Kuning? Mungkinkah ia tenggelam dalam riuhnya budaya instan? Ataukah kita, sebagai orang tua, pendidik, dan masyarakat, yang gagal menciptakan tanah subur agar Klenting Kuning bisa tumbuh kembali?

Kisah Ande-Ande Lumut tidak mencari gadis tercantik, tetapi yang paling bijaksana. Di dunia nyata pun, kita tak butuh lebih banyak Klenting Abang atau Yuyu Kangkang baru.
Yang kita butuhkan adalah ruang, waktu, dan keberanian untuk membesarkan Klenting Kuning baru---di rumah, di sekolah, di budaya kita.

Karena harga diri tak bisa dibeli dengan cinta palsu, dan kedewasaan sejati tak bisa diraih dengan jalan pintas.

Toto Endargo, Peminat Budaya

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun