Tak hanya itu, kita juga hidup dalam masyarakat yang penuh paradoks. Jilbab, misalnya, dulunya dianggap perhiasan dan simbol kesalehan, kini di sebagian kalangan justru dianggap pengekang kebebasan. Sementara ceramah agama tentang dosa dan neraka begitu mudah diakses, dari televisi hingga kanal YouTube, tapi tak mampu menahan laju penyimpangan. Mengapa? Karena nilai-nilai hanya jadi bunyi, tanpa pengalaman batin dan teladan nyata yang menyentuh remaja.
Simbol-simbol moral diubah maknanya oleh zaman, tapi esensi moralnya belum tergantikan. Kita menghadapi generasi yang dibanjiri informasi, tapi miskin pemahaman; punya akses luas, tapi kehilangan arah.
Saatnya Menciptakan Klenting Kuning Baru
Menanam Nilai di Tengah Arus
Pertanyaannya: ke mana Klenting Kuning? Mungkinkah ia tenggelam dalam riuhnya budaya instan? Ataukah kita, sebagai orang tua, pendidik, dan masyarakat, yang gagal menciptakan tanah subur agar Klenting Kuning bisa tumbuh kembali?
Kisah Ande-Ande Lumut tidak mencari gadis tercantik, tetapi yang paling bijaksana. Di dunia nyata pun, kita tak butuh lebih banyak Klenting Abang atau Yuyu Kangkang baru.
Yang kita butuhkan adalah ruang, waktu, dan keberanian untuk membesarkan Klenting Kuning baru---di rumah, di sekolah, di budaya kita.
Karena harga diri tak bisa dibeli dengan cinta palsu, dan kedewasaan sejati tak bisa diraih dengan jalan pintas.
Toto Endargo, Peminat Budaya
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI