Mohon tunggu...
Toto Endargo
Toto Endargo Mohon Tunggu... Peminat Budaya

Catatan dan Pembelajaran Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tutur Cinatur: Brambang Jahe dan Udan Angin - Jejak Pundhen di Purbalingga Kidul

24 April 2025   12:56 Diperbarui: 24 April 2025   12:56 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pundhen Brambang Jahe - Toto Endargo

Tutur Cinatur: Brambang Jahe lan Udan Angin -- Jejak Pundhen di Purbalingga Kidul

Kadang-kadang, sebuah tempat jadi keramat bukan karena wujudnya megah, tapi karena ia menyimpan jejak langkah seseorang yang oleh masyarakat dianggap linuwih. Demikianlah halnya dengan dua petilasan yang berada di kawasan Purbalingga Kidul, yaitu Pundhen Brambang Jahe dan Pundhen Udan Angin. Keduanya kini ada dan tenang, satu di utara GOR Goentoer Darjono, satu lagi di selatannya, seperti dua sisi dari satu perjalanan spiritual yang panjang.

Jejak di Utara GOR

Bagi siapa saja yang pernah mengelilingi kawasan GOR Goentoer Darjono, barangkali pernah melirik ke arah mural orang bertinju. Di sanalah, di balik gemerlap aktivitas kota, berdiri sebuah petilasan sederhana bertuliskan: Petilasan Brambang Jahe, Kelurahan Purbalingga Kidul, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga. Konon, di situlah kisah ini bermula---atau setidaknya, berakhir dalam diam. Inilah sedikit cerita singkatnya yang pernah saya dengar.

Dalang Wayang Kulit

Alkisah jaman dahulu di dusun Timbang, Penambongan ada seorang dalang, bernama Ki Wiramenggala (?) dikenal dengan julukan Ki Dalang Timbang. Sebenarnya, sekitar seabad yang lalu, dusun Timbang itu sudah diwasiatkan, oleh Ki Narasoma, demang yang pertama berkuasa, sebuah pamali, agar jangan mengadakan pentas wayang di wilayah Timbang.

Namun barangkali karena pamali itu sudah sangat lama berlakunya, dan kemungkinan Ki Dalang Timbang bukan keturunan Ki Narasoma, maka beliau memantapkan hati untuk menjadi pengabdi seni, menjadi Dalang Wayang Kulit. Konon yang penting jangan sampai melakukan pentas di wilayah Dusun Timbang. Begitulah!

Pesan Pilihan

Suatu hari Ki Dalang Timbang dipesan oleh sebuah keluarga di dukuh Blewuk, Desa Bojong. Dimohon untuk pentas mendalang. Hari dan tempat pentas telah ditentukan dengan bijaksana, akur dan nyaman di semua sisi. Sebuah persekutuan yang harmonis. Lakon pagelaran wayang semalam suntuk juga sudah disetujui oleh Ki Dalang dan tuan penanggap, dengan lakon Sesaji Rajasuya.

Namun datanglah sebuah masalah. Konon Kanjeng Bupati Purbalingga kerawuhan tamu agung dari Surakarta. Berkenan ingin dijamu potensi asli budaya Jawi. Pentas wayang. Maka dipanggilah dalang maen dari dusun Timbang itu.

Hari dan tempat pentas ditentukan oleh Kanjeng Bupati. Ya, ampun, kok hari dan tanggalnya, sama persis dengan pesanan piyayi Dusun Blewuk. Ki Dalang Timbang tertunduk masygul. Ewuh aya ing pambudi, sulit menentukan pilihan, sebaiknya pentas dimana.

Percik nurani yang hadir ternyata mengarahkan pada pilihan bijak, itu menurut Ki Dalang. Ki Dalang Timbang memilih tetap pentas di Dusun Blewuk, karena piyayi dusun Blewuk lebih dulu memesan dibandingkan Sang Bupati. Janji harmonis tak elok jika dibikin jadi cela.

Sang Bupati, konon, menjadi tidak berkenan. Ada senyum ancaman di wajahnya. Ki Dalang Timbang pun tanggap ing sasmita, sadar risiko yang mungkin harus diterima, Ki Dalang telah memilih mbadhal saka dhawuhing pengageng, membantah perintah atasan. Kebijakan seorang demang ternyata tidak selaras dengan sang penguasa kadipaten. Apa boleh buat!

Terjadi Gara-gara

Malam yang sama. Dua pentas wayang terpisah dengan jarak sekitar dua kilometer. Di Pendapa Kabupaten Purbalingga dan di dusun Blewuk. Lakon yang sama, Sesaji Rajasuya. Lakon yang menceritakan tentang syarat dan upaya penobatan seorang raja. Begitulah, malam itu diharapkan akan berlalu dengan nyaman dan meriah.

Namun di tengah malam, ketika adegan gara-gara, benar-benar terjadi gara-gara di diri Ki Dalang Timbang, perutnya sakit, dan tidak bisa ditahan untuk tetap pentas mendalang. Langit berkabut, mendung menggantung. Ki Dalang Timbang tanggap dengan isyarat darurat itu, pentas dihentikan. Terpaksa beliau pamit pulang, harus pulang.

Tersesat Jalan Pulang

Demi keselamatan semua orang, Ki Dalang Timbang pulang dengan tidak mau diantar siapapun, kecuali istrinya. Istri yang selalu setia mendampinginya setiap kali pentas. Dalam gelap yang tak sewajarnya, Ki Dalang Timbang berjalan pulang. Dari dusun Blewuk ke Timbang itu termasuk dekat jika dalam keadaan wajar. Tapi tidak malam itu. Langit bermendung gelap, badan sakit, sempoyongan. Ki Dalang berjalan dalam bimbingan istri.

Dan ternyata keduanya, telah keliru memilih jalan, terlunta hingga melewati wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Desa Mewek, lalu lewat Dukuh Kalijebug, Karangmanyar, sampai ke Purbalingga Kidul. Lintasan yang dilalui, bukan arah yang menjadi kebiasaannya di jalan siang hari, bahkan dusun Timbang kini telah terlalui, keblabasen.

Kali Kramean 

Beliau sadar tersesat ketika mendengar gemrasaknya air dari sungai kecil yang dikenalnya, lalu berhenti sejenak, rasa sangat tidak nyaman membuat tangan Ki Dalang Timbang bergerak-gerak seperti orang sedang menggapai-gapai sesuatu, kranggean. Di saat itulah keduanya mendengar suara ramenya pentas wayang di Pendapa Kabupaten Purbalingga.

Ki Dalang Timbang lalu minta diambilkan air sungai untuk diminum. Dengan menggunakan daun seadanya, istrinya mengambil air sungai untuk suaminya. Setelah minum Ki Dalang berpesan kepada istrinya bahwa sungai kecil itu mulai saat itu diberi nama Kali Kramean. Keduanyapun kemudian melewati sungai Kramean.

Curug Gencang 

Lalu berjalan lagi dalam papahan istrinya, karena gelap dan banyak rumput liar, kaki Ki Dalang sempat kegencang, tersandung akar rumput hingga jatuh terduduk, berpegangan pada sebuah pohon. Kebetulan disitu ada curug, air terjun, suara air terjun yang sangat dikenalnya.

Yang terdengar itu adalah curug kembar, karena ada aliran sungai kecil dari Sungai Larangan yang mengalir dari utara ke selatan (sekarang sejajar dengan gang Mayong, Jalan Wirasaba) dan menjadi air terjun kembar yang jatuh ke Sungai Gringsing.

Ketika bertanya kepada istrinya, dia sedang berpegangan pohon apa, dijawab oleh istrinya bahwa pohon yang dipegangnya adalah pohon Secang. Pohon secang adalah pohon yang kayunya berwarna coklat muda, cenderung kekuningan, biasanya digunakan sebagai perwarna kain batik.

Dikarenakan kakinya kegencang dan ada pohon secang, maka oleh Ki Dalang Timbang curug kembar itu diberi nama sebagai Curug Gencang atau Curug Secang. Dan kini wilayah di sekitar curug kembar itu (curugnya sekarang tinggal bekasnya, karena air dari utara sudah tidak mengalir sebesar jaman dahulu) dikenal dengan nama dusun Curgecang.

Brambang Jahe

Kedua suami istri itu sudah paham bahwa Dusun Timbang telah terlewati, maka dari Curug Secang, keduanya berbalik sedikit mengikuti suara air Kali Gringsing. Rasa sakit perutnya sudah tidak tertahankan sampai-sampai Ki Dalang Timbang  kakinya sempat terpeleset, dan kesulitan untuk berjalan.

Ki Dalang Timbang, minta berhenti. Saat istirahat inilah sang istri baru ingat bahwa di bengking-nya dia ada membawa brambang dan jahe. Segera brambang dan jahe di-mamah, dikunyah-kunyah, dan dioleskan ke perut suaminya.

Sampai beberapa kali istrinya mamah brambang jahe. Ampas bekas borehan dan sisa brambang jahe, di bawah sinar lidah cahaya langit, dikubur di tempat dimana Ki Dalang Timbang itu dirawat. Kini tempat itu dikenal dengan nama Petilasan Brambang Jahe. Bahkan di beri nisan, diberi tulisan Kyai Brambang Jahe.

Curug Taman Gringsing - Toto Endargo 
Curug Taman Gringsing - Toto Endargo 

Curug Plered

Setelah sakitnya reda Ki Dalang belum segera meneruskan perjalanan, dia mengingat tadi terpeleset. Saat itulah terdengar nyaring suara air terjun yang sangat deras, rupanya hujan sudah turun di wilayah atas. Sungai Gringsing banjir, air terjun di dekat Ki Dalang istirahat suaranya menutupi suara pagelaran wayang di pendapa kabupaten, suara air terjun lebih keras dibanding suara pentas wayang.

Maka mengingat kemungkinan usianya pendek, Ki Dalang pun pesan kepada istrinya untuk mengenang peristiwa terpelesetnya (kepleret, keplered, kepleset) maka air terjun yang terdengar gemuruh itu diberi nama Curug Pleset. Namun kemudian kemudian dikenal dengan nama Curug Plered, dan kini dikenal pula dengan nama Curug Taman Gringsing.

Pundhen Udan Angin - Toto Endargo
Pundhen Udan Angin - Toto Endargo

Udan Angin

Setelah Ki Dalang Timbang dirasa lebih nyaman, berdua dengan istrinya, meneruskan perjalanannya menuju ke rumahnya di Dusun Timbang. Karena gelapnya malam yang tak sewajarnya, Ki Dalang Timbang kembali sedikit tersesat, tidak langsung menuju arah yang benar, keduanya hanya mengikuti sekitar jalur aliran sungai di sebelahnya (Kali Kramean)

Ternyata di perjalanan yang baru menempuh jarak sekitar 300 meter, hujan deras disertai angin ribut, bertiup menakutkan membelah arena. Dengan terpaksa keduanya harus berteduh, kebetulan di dekatnya ada pohon Waru Watang yang tidak begitu besar, di bawah pohon waru yang daunnya lebar itulah Ki Dalang Timbang dan istrinya berteduh.

Sejenak kemudian keduanya pun berdoa ke Hadirat Allah Subhanahu wa ta'ala, konon salah satu diantaranya adalah dengan membaca Al-Fatihah tujuh kali, dengan disertai permohonan agar hujan angin yang begitu hebat segera berhenti. Demikianlah sekitar 20 menit kemudian, hujan angin pun berhenti, Ki Dalang Timbang dan istrinya meneruskan perjalanan menuju pemukiman yang sebenarnya sudah dekat yaitu Dusun Timbang.

Tempat di mana Ki Dalang Timbang dan istrinya berteduh di bawah pohon waru watang, lokasinya kini dijadikan sebagai sebuah pundhen, tempat yang dipundhi-pundhi, dihormati keberadaannya, diberi nama Pundhen Udan Angin.

Tempat Perantara

Seiring dengan waktu ternyata keberadaan Pundhen Udan Angin di Purbalingga Kidul itu, tertangkap secara irasional oleh orang-orang yang justru berada di luar wilayah Purbalingga. Maka tidak heran jika pada saat-saat tertentu, di lokasi Pundhen Udan Angin datang orang-orang dari luar Purbalingga untuk melakukan ziarah.

Mereka meyakini bahwa tempat tersebut adalah tempat yang dapat menjadi perantara terkabulnya sebuah permohonan, tempat untuk memberi penghormatan kepada para leluhur yang telah berhasil berkomunikasi dengan mereka. Dari yang pernah disampaikan oleh beberapa orang di sekitar pundhen, mereka yang datang dari luar wilayah Purbalingga, ke lokasi pundhen itu untuk melakukan semacam dzikir berjamaah.

Ada pula yang membagikan makanan ke warga sekitar, layaknya orang melakukan tradisi syukuran. Barangkali mereka bersyukur karena permohonannya terkabul, atau mungkin wujud puja-puji mereka kepada kedalaman isi Pundhen Udan Angin.

Pamali Ki Dalang Timbang

Pada akhirnya Ki Dalang Timbang sampai ke rumah, tetap dalam keadaan sakit. Ketika sakitnya semakin parah maka Ki Dalang Timbang berpesan kepada anak cucunya, menjadi sebuah pamali. Pamali atau hal yang dilarang, tabu dilakukan, yaitu: Anak, cucu, dan keturunan Ki Dalang Timbang, tidak diijinkan untuk menjadi dalang wayang.

Pundhen Brambang Jahe yang jika dilihat secara nyata, begitu sederhananya, hanya ada sebuah tempat semacam pemakaman, bahkan Pundhen Udan Angin, lebih sederhana lagi, hanya terdiri dari tanah rata dengan dua buah batu yang diatur seperti sepasang nisan.

Namun untuk individu yang meyakininya, kedua lokasi tersebut adalah tempat yang dinilai istimewa. Pundhen Brambang Jahe ada di utara GOR Goentoer Darjono, sementara Pundhen Udan Angin di sebelah Selatan GOR Goentoer Darjono, tepatnya di sebelah selatan Purbalingga Food Center.

Tutur Cinatur

Inilah yang disebut tutur cinatur, kisah yang dituturkan kembali dari cerita rakyat. Bukan untuk diyakini sepenuhnya, tapi untuk dipahami, direnungkan, dijadikan cermin. Karena kadang, kebenaran yang sesungguhnya tersembunyi dalam simpul-simpul tutur yang diceritakan turun-temurun.

Semoga bermanfaat. Salam. Toto Endargo

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun