Bu Ani menatap anak-anak yang masih menyanyi lagu panjang umur. Ada linangan airmata di sudut matanya. Anak-anak tertegun hingga berhenti menyanyi. Semua diam. Sepi!
"Terimakasih anak-anakku!" kata Bu Ani dengan suara tersendat-sendat. Hanya itu! Kemudian menelan ludah, mencari kekuatan. Hatinya bagai tercabut. Airmatanya bergulir, diusapnya perlahan. Keharuan menyelimuti kelas kami. Hening! Dalam keheningan itu muncul suara Isna yang memelas dan perlahan. Bagai suara yang muncul dari alam asing nan dingin. Ada yang merinding.
"Ter....pu....jilah wahai engkau Ibu ... Bapak Guru, namamu akan ..."Â dan semua anak ikut menyanyi. Menyanyi dengan penuh perasaan. Hati kami bagai diremas-remas, luluh dalam kekhidmadan syair. Mei yang terkenal cengeng dan sekaligus mudah tertawa, langsung terisak-isak di tengah kumandang Hymne Guru. Dadaku sesak, turut larut dalam haru. Kelembutan hati Bu Ani membuat beliau luluh dalam perasaan haru. Seketika ada genangan air mata di pelupuk matanya.
==
"Ada apa Bu Ani?" Tiba-tiba Pak Arif, kepala sekolah kami, sudah berada di ambang pintu kelas. Pertanyaannya yang mengandung nada khawatir di tengah kekhikmadan perasaan, seakan suara halilintar di siang bolong. Kami terkejut.
Bu Ani tak kalah terkejutnya! Entah kenapa! Mungkin malu karena menangis. Bu Ani cepat-cepat menghapus air matanya dengan gerakan reflek. Saking cepatnya, tanpa sengaja, tangan kanan yang terangkat malah menampar kaleng biscuit yang ditaruh di meja di depannya. Dheng! Glondhang! Kaleng biscuit jatuh! Glondhang! Glondhang! Glondhang! Kaleng biscuit bergulingan di lantai kelas.
Bu Ani kaget! Ternyata Bu Ani sedikit latah. Kali ini latahnya muncul. "Eh, bodong, bodong!" sambil membuat gerakan cilup-ba dua kali. Semua kejadian dalam tatapan mata seluruh kelas. Serentak! Peristiwa tersebut menjadi kombinasi yang ampuh untuk menggelitiki perut seluruh anak. Meledaklah tawa kami.
Kasihan Bu Ani. Mukanya merah. Mei yang sedang terisak-isak, terkejut tiga kali, pertama selonongan Pak Arif, dua, glondhangan kaleng jatuh, tiga, bodong dan cilup-banya Bu Ani, kini Mei justru ikut tertawa terkekeh. Suaranya lucu, antara tangis dan kekeh! Hal Mei ini menjadikan tawa kami semakin lebar.
Bu Ani yang melihat perubahan situasi demikian cepat, tidak tahan juga menahan geli. Beliau ikut tertawa. Pak Arif pun tertawa. Rusaklah suasana haru penuh penghayatan, telah benar-benar berubah menjadi arena tawa.
Deg! Aku ingat, ini adalah acara ulang tahun. Secepatnya saya mengambil kapur di meja guru. Kutulis di papan tulis pada bagian yang kosong, separo papan tulis.
"Selamat Ulang Tahun Bu Ani!"