Waktu terus berlalu dan perubahan terus terjadi, saat semua tergantikan oleh teknologi namun ada satu tradisi yang nampaknya enggan tergusur. Orang bisa saja melupakan jam weker karena hp telah menggantikan fungsi membangunkan orang tidur, penulis ingin bercerita tentang tradisi ketika Ramadan tiba, sebuah kebiasaan yang terlanjur rutin dan tak tergantikan kehadirannya meski teknologi telah menembus wilyah pedesaan.
Tradisi ngoprek, membangunkan orang orang untuk bersiap menyantap hidangan sahur, membantu Emak emak yang akan memasak atau cuma sekedar menghangatkan makanan. Para pemuda desa yang setia berkeliling kampung seraya membawa alat seadanya, uniknya mereka mampu memainkannya laiknya membawa alat musik pada umumnya.
Drum bekas jerigen tempat minyak tanah, botol sirup bekas, sendok hingga "blek" bekas ember cat menjadi senjata andalan, yang memegang alat musik serta lengkap dengan para vokalisnya yang mengcover lagu lagu ngehits. Penulis mengikuti langsung para pemuda kampung membangunkan warga agar bersiap sahur.
Ngoprek butuh stamina juga lho karena selama tiga puluh hari mereka begadang, belum lagi harus melawan dinginnya udara malam desa Rajawetan yang bikin badan menggigil, memakai jaket tebal, kenakan penutup kepala, ready ngoprek seraya sesekali menganggukan kepala mengikuti lagu lagu irama koplo.
Tradisi ngoprek terus bertahan meski digempur kebiasaan baru seperti main game online atau ketergantungan dengan namanya gawai, beruntung anak anak muda mau meluangkan waktu untuk kompakan membangunkan sahur, hingga hari ke 19 ini, alhamdulillah tak ada komplain dari warga yang merasa berisik dengan ngoprek ini, gelagatnya pemuda Rajawetan bersiap tuntaskan ngoprek hingga bulan puasa usai.
Tradisi Ngoprek Dari Generasi Ke Generasi
Sebelum penulis hijrah menuju Bekasi,ketika masih imut imut hingga kini jadi amit amit, tradisi ngoprek masih lestari di Rajawetan, Kuwu atau sebutan kepala desa, dahulunya saat beliau muda merupakan tim ngoprek, begadang tiap malam dan keliling kampung menjadi rutin bila masa puasa tiba.
Tak ada aturan baku siapa yang harus ngoprek atau usia berapa dia melakukan debut untuk bisa ngoprek, namun usia yang lazim saat melakukan ngoprek adalah di rentang antara kelas satu SMP hingga kelas tiga SMA. Namun uniknya disetiap generasi selalu saja melahirkan tim ngoprek, pemuda yang yang masih bersekolah menjadi tumpuan tim ngoprek.
Maklumlah permasalahan urbanisasi menjadi hal yang terelakan di desa Rajawetan, seusai menyelesaikan sekolah menengah maka mereka pun mencoba peruntungan mencari pekerjaan di kota kota besar.Sehingga estafet ngoprek disandang oleh pemuda pemuda tanggung yang masih sekolah.
Berharap tradisi ngoprek pun tergerus karena para pemuda kampung meninggalkan desa seraya berharap mendapat pekerjaan layak di kota menjadi buruh industri, maklumlah menjadi petani di kampung bukan profesi yang di inginkan. Ngoprek Never Die tapi entah kalau besok besok mah.
Memainkan Musik Asyik Dari Barang Bekas
Tahun ini penulis berada di kampung tercinta Rajawetan, saatnya mengeksplor suasana puasa termasuk  saat sahur. Pada umumnya sahur memang masa masa paling malas untuk beraktifitas, tapi sayang juga dong waktu sahur terlewat begitu saja. Berburu bagaimana pemuda kampung Rajawetan melanggengkan tradisi ngoprek, penulis pun menelusuri rahasia bebunyian dari alat alat bekas tersebut.
Ternyata perlu kekompakan dan juga harmonisasi saat melakukan pukulan, ember bekas cat bisa difungsikan menjadi nada bas, jerigen  minyak mempunyai tugas sebagai nada drum dalam sebuah band, nah kalau fungsi botol ternyata tak kalah vital lho, ketukan botol kaca menjadi penghantar nada dari alat alat musik lainnya.
Ada juga alat yang dibawa tim pengoprek bernama kokol atau kentongan dan terbuat dari bambu yang bagian tengahnya di lubangi, alat ini juga lumayan penting bagi tim ngoprek. Terakhir adalah para vokalis ngoprek, mereka tak memegang alat musiknya namun inilah front man dalam ngoprek.
Ada beberapa vokalis dalam tim ngoprek, tugas mereka adalah menyanyikan lagu mengiringi musik ngoprek, maka melantunlah lagu lagu yang lagi ngehits hingga shalawatan, sebagaimana laiknya band sungguhan, ngoprek tanpa vokalis tidaklah lengkap, karena mereka juga yang berteriak bangunkan sahur dan juga bernyanyi sepanjang waktu ngoprek.
Genjring The Best Tetabuhan
Genjring makin lengkap kalau ada beduknya sebagai klimaks pertunjukan. Dahulu ada sesepuh desa bernama Abah Wahid yang mampu mengiringi irama Genjring  dengan gerakan Silat, ritme gerakannya mirip tari Saman. Namun saat ini Genjring hanya dimainkan sebagai musik tabuh.
Bila pola pukulan Genjring menghasilkan irama " pongbing pongger" maka keseruan permainan terus berlanjut. Menikmati banget permainan Genjring ini, di era sebelum milenium, genjring kerap menjadi kegiatan ngoprek di bulan Ramadan. Mungkin saatnya anak anak milenial diberi kesempatan untuk memainkan tetabuhan seru bernama Genjring.
Sayangnya saat Genjring ikut ngoprek juga dan melakukan keliling kampung untuk membangunkan sahur, penulis belum berkesempatan menyaksikan langsung aksi para pemain Genjring.Hanya samar suara tetabuhan klasik itu dimainkan, semoga saja kesenian jadul semacam Genjring tak memudar begitu saja, regenarasi pemain perlu dilakukan  agar Genjring tak hilang ditelan zaman.
Tim Ngoprek Keluar Kandang Siang siang
Setelah maraton melakukan ngoprek di malam hari, ketika memasuki hari terakhir puasa, tim ngoprek akan berkumpul siang hari, masih membawa peralatan "band" mereka berupa alat alat bekas. Di hari terakhir puasa mereka berkeliling lagi pada siang hari. Suasana ini makin meriah karena ada bocah bocah kecil yang mengangsurkan plastik kresek ke tiap tiap rumah.
Saatnya mengambil "upah ngoprek" dengan meminta sedekah berupa beras, tim ngoprek memainkan musik dan  bocil bocil yang mengambil jatah beras. Nah peran mengambil beras inilah yang pernah dialami penulis, jika si empunya memberikan beras dengan takaran banyak girangnya minta ampun.
Tim ngoprek terus keliling kampung dan menyisir rumah rumah yang ada di desa Rajawetan,semakin lama semakin berat bawaan mereka, beras di kumpulkan lalu di timbang kemudian di jual. Hasil penjualan beras yang dikonversi menjadi uang lalu di bagi bagi ke tim ngoprek.
Jika ikutan penuh ngoprek selama  bulan puasa, mereka mendapatkan uang lebih banyak, prosentasi kehadiran juga berpengaruh dengan pendapatan yang diraih.
Menurut tim ngoprek bernama Fariz Muhammad, tahun lalu pendapatan tim ngoprek mencapai 1,8 juta dan di bagi rata sesuai tingkat kehadiran. Tahun ini penghasilan ngoprek direncanakan untuk membeli peralatan tabuh seperti Tam tam sehingga nantinya bebunyian ketika ngoprek lebih dinamis.
Itulah sekelumit tradisi sahur yang ada di desa Rajawetan. Soal ngoprek kerap ada pro kontranya, namun dibalik itu semua kita tentunya patut memberi apresiasi terhadap anak anak muda yang mau begadang dengan tujuan agar warga tak terlewat waktu santap sahur.
Dibanyak tempat sangat mungkin tradisi sahur yakni membangunkan orang orang banyak ditemui dengan nama yang berbeda namun mereka pula yang berupaya menghidupkan tradisi sahur tetap terjaga.