Hati Anwar berdentang riang saat melihat hamparan menghijau di sawah, tampaknya musim tandur yang meriah, saat yang tepat untuk ngobor belut nanti malam. Dengan bergegas ia menuju rumah Mang Sapta yang tak jauh dari kediamannya. Mang Sapta paling jago kalau untuk urusan ngobor belut, sering kali tangkapan belut Mang Sapta sangat banyak dan tak jarang belut belut itu di bagikan kepada tetangga sekitar.
“Assalamualaikum, Mang Sapta...Mang Sapta.”
Hening beberapa jenak namun itu tak lama, ada suara menjawab salam, hati Anwar bersorak ternyata Mang Sapta ada di rumah, tak lama kemdian sosok tinggi besar dengan rokok kretek di tangannya membukakan pintu.
“Wah si Anwar ternyata, tumben siang siang main ke rumah Amang?”
Anwar cengar cengir dan ia pun menyalami Mang Sapta lalu ia pun mengutarakan niatnya untuk di ajak ngobor belut nanti malam. Mang Sapta mengangguk ngangguk mendengar keinginan keponakannya itu, lalu Mang Sapta meminta Anwar untuk izin dulu ke ibunya. Senyum Anwar merekah, berarti Mang Sapta berkenan mengajak ngobor tetapi tinggal minta izin Ibu saja tampaknya, semoga Ibu mau mengizinkan ngobor belut nanti malam bersama Mang Sapta.
“ Kalau begitu mah pamit dulu Mang, nanti kalau udah di izinin Ibu, saya bilang ke Mang Sapta deh. Salamualaikum,” pamit Anwar seraya kembali mencium tangan Mang Sapta.
Malam telah datang, waktunya yang tepat untuk berburu belut di sawah, Ibu sudah mengizinkan Anwar untuk ikut Mang Sapta, dengan gesit Anwar mempersiapkan peralatan untuk ngobor, terutama sih sebuah lampu pijar yang berbahan karbit untuk alat penerangan. Selepas Isya Anwar menuju rumah Mang Sapta, ternyata si Mamang yang satu ini telah siap dengan segala pernak pernik untuk ngobor belut.
“Yuk kita segera berburu belut belut, di goreng kering wiiih sedapnya,” ujar Anwar sambil mengelus perut.
“ Kamu mah War ada ada saja, ngobornya juga belum eh udah ngebayangin goreng belut duluan,” ujar Mang Sapta sambil terkekeh.
Mereka berdua tertawa bersama kemudian Mang Sapta berjalan ke arah utara kampung di mana tadi siang para petani telah menanam padi. Biasanya belut banyak saat musim tandur dan kesempatan ini sering di gunakan untuk ngobor belut. Daging belut yang renyah dan enak buat lauk makan sehingga warga kampung kerap memburu belut untuk di jadikan santapan lezat menemani waktu makan.
Mungkin malam ini adalah malam keberuntungan bagi Anwar dan juga Mang Sapta, setelah berkeliling dari sawah ke sawah dan menyatroni lubang lubang di mana belut ngumpet, perjuangan mendapatkan belut meski agak bersusah payah karena memang belut begitu licin namun malam ini memang malamnya Anwar mendapatkan belut belut dengan jumlah banyak.
Wadah bambu yang di sediakan untuk menampung hasil tangkapan belut mulai menggembung karena banyaknya belut yang bisa di tangkap. Dalam hati Anwar bersorak senang, terbayang nanti usai ngobar bisa menikmati kerenyahan goreng kering belut, ngobor dengan Mang Sapta selalu memberikan kegembiraan bagi pemuda kampung bernama Anwar.
Angin malam berhembus semilir, cahaya lampu pijar meliuk liuk di tiup angin, Mang Sapta berjalan di depan sedangkan Anwar mengikuti dari belakang, mereka berjalan di pematang sawah, sesekali terdengar suara batuk Mang Sapta, suara yang batuk terdengar nyaring meski sebenarnya batuk Mang Sapta pelan, malam yang hening membuat suara sepelan apapun terdengar seperti nyaring.
Saat mereka terus berjalan di pematang sawah menuju arah pulang, terdengar suara kotekan ayam dan terdengar begitu dekat dan nyata, entah ayam siapa yang masih berkeliaran semalam ini, suara kotekan ayam makin riuh, suaranya ribut sekali.
“Kira kira ayam siapa ya yang masih berkeliaran di malam ini, apakah yang empunya lupa mengandangkannya?” Tanya Anwar keheranan.
“Jangan menengok ke belakang ya, lagian pula itu tandanya masih jauh,” jawab Mang Sapta.
Anwar keheranan dengan jawaban Mang Sapta, jangan menengok ke belakang dan masih jauh, ada apa dengan jawaban Mang Sapta? Belum usai Anwar bertanya lagi, kotekan ayam yang tadinya riuh sekarang sekarang terdengar samar samar, sayup di antara semilirnya angin, terdengar perlahan namun justru setelah kotekan terdengar sayup, bulu kuduk Anwar seakan berdiri, entah mengapa ia merasakan hawa lain yang berbeda.
“Kotekan ayam seakan menjauh tapi kok malah jadi merinding begini nih Mang Sapta? Perasaan jadi nggak enak gitu deh,” ujar Anwar yang jalannya makin merapat di belakang Mang Sapta.
“ Sudah dekat, mungkin di belakang kita! Jangan sesekali menengok ke belakang ya, coba lemparkan beberapa belut ke arah belakang,” saran Mang Sapta kepada Anwar.
“ Busyeet dah Mang Sapta gimana sih, belut kita tangkap susah susah kok di buang?”
“Udah lempar saja ke belakang, kalau tidak pasti kita di ikutin terus,kamu mau di ikutin terus sampai rumah? Ayo cepetan lempar!”
Akhirnya Anwar melempar juga beberapa ekor belut ke arah belakang, ingin rasanya menengok apa yang terjadi di belakngnya tapi teringat nasehat mang Sapta yang menyuruhnya jangan menengok ke belakang. Mereka berdua terus berjalan menuju rumah Mang Sapta, di iringi kotekan ayam yang terdengar sayup sayup, beberapa kali Anwar melemparkan belut ke arah belakang.
“Anyir..anyir..paiiit...paiit.”
Berkali kali Mang Sapta berkata kata demikian, kini suara kotekan ayam telah lenyap, beruntung rumah Mang Sapta sudah kelihatan dan Anwar pun merasa lega. Setelah tiba di teras rumah, Anwar menyeka keringat di dahi, ia pun melirik ke arah wadah bambu yang berisi belut yang kini sedikit berkurang gegara tadi ia melemparkan belut ke arah belakang.
“Lumayanlah tangkapan malam ini Mang, sayang tadi beberapa belut kita buang percuma, kenapa sih Mang sampai harus membuang belut segala?”
“Tadi kamu mendengar kotekan suara ayam? Awalnya terdengar ramai sekali, sebenarnya itu tanda ada kuntilanak di sekitar kita, suara kotekan ayam yang terdengar nyaring berarti kuntilanak masih jauh, lalu kotekan menjadi semakin terdengar sayup, justru itulah kehadiran kuntilanak sudah sangat dekat. Sebenarnya kuntilanak menginginkan belut karena aroma anyirnya jadi ia pun mengikuti kita, makanya Mamang tadi bilang lempar ke arah belakang dan jangan menengok, sebenarnya kuntilanak persis di belakang kamu sebenarnya.” Mang Sana menerangkan panjang lebar.
Anwar cuma melongo mendengarkan penjelasan Mang Sapta, tak di nyana malam ini ia di ikuti makhluk halus bernama kuntilanak, untung saja ia tak menengok ke arah belakang, kalau saja ia nekad pastinya telah melihat penampakan kuntilanak. Pantas saja tadi ia merasa merinding disko dan agak ketakutan, oh ternyata kuntilanak ada di belakangnya.
“Kuntilanak sangat senang dengan aroma anyir, orang tua dahulu berpesan terutama bagi perempuan yang sedang menstruasi jangan gegabah membuang sisa haid, kuntilanak sangat senang dengan bau anyir lho, bisa bisa di jilatin tuh. Belut pun anyir dan kuntilanak sangat suka dengan bau anyir.”
Anwar tercekat, ternyata malam ini di lalui dengan pengalaman yang ngeri ngeri sedap, terbayang kembali saat ia harus melemparkan beberapa ekor belut ke arah belakang, sangat mungkin si kuntilanak beberapa centi di belakangnya, pengalaman seru yang mendebarkan. Gara gara belut akhirnya di ikuti kuntilanak, untung saja si kuntilanak nggak iseng mencolek colek dari belakang, coba tadi di isengin si kuntilanak mungkin ceritanya jadi berbeda.
“ Kebayang dong Mang jika si kuntilanak iseng ngitikin dari belakang dan nyolek nyolek gitu, bisa merinding disko lho,” ungkap Anwar sambil nyengir.
“Kuntilanak juga ogah bener godain kamu War, mana mau kuntilanak nyolek kamu, wong kamu aja badanya bau apek gitu,” cela Mang Sapta sambil terkekeh.
Mereka berdua pun akhirnya tertawa ngakak, pengalaman ngobor belut plus di ikutin kuntilanak memberikan pengalaman tersendiri, bahwa ternyata manusia tak sendiri, ada makhluk lain yang juga hidup di alam lain, entahlah makhluk halus itu apakah terkadang melakukan hal hal yang koplak yang cuma manusia saja bisa melakukan itu.
