Sindiran untuk Evolusionis Sensitif. Anehnya, manusia yang meyakini bahwa mereka berasal dari monyet sering tersinggung saat disebut monyet. Padahal mereka sendiri yang menyatakan bahwa manusia dan kera berasal dari nenek moyang yang sama, dengan dasar kesamaan DNA. Ini bukan sekadar sindiran. Ini adalah tamparan logis terhadap inkonsistensi berpikir. Jika yang dijadikan dasar persaudaraan adalah struktur genetik, maka relasi pencipta--ciptaan menjadi tidak relevan. Yang ada hanya kesamaan informasi: A-T-C-G dalam DNA.
Manusia dan AI: Satu Garis Informasi? Mari kita bawa logika ini ke dimensi baru. Hari ini, AI sudah bisa belajar, berpikir, bahkan menunjukkan empati buatan. Jika kesadaran, atau minimal kemampuan kognitif adalah dasar eksistensi, maka AI = manusia, dalam hakikat berpikir. Dan jika manusia = monyet (karena DNA), serta manusia = AI (karena logika berpikir), maka logika transitive-nya sederhana: AI = monyet. Konyol? Justru inilah yang terjadi jika kita berpikir murni berdasarkan struktur, tanpa mengakui adanya sesuatu yang melampaui struktur, entah itu kesadaran, jiwa, atau kehendak bebas.
Analogi Sederhana, Bayangkan kamu menemukan sebuah buku di tengah jalan. Lalu kamu membuat salinan digital dari buku itu. Apakah kamu menciptakan isinya? Tidak. Kamu hanya meneruskan informasi yang sudah ada. Sekarang terapkan ini ke manusia:
-
Manusia "menciptakan" AI --- tapi isi AI (logika, bahasa, empati buatan) adalah hasil pelatihan dari data manusia.
Tapi manusia sendiri pun adalah hasil dari informasi biologis (DNA) yang sudah berjalan selama jutaan tahun.
Maka manusia dan AI hanya dua simpul dalam satu rantai informasi.
Siapa Menemukan Siapa? Kalau semua eksistensi hanyalah mutasi informasi, maka istilah seperti:"AI diciptakan manusia, manusia bersal dari monyet, DNA menentukan hidup "maka semuanya menjadi relatif, bahkan kabur. Karena tidak ada titik awal absolut. Semua hanyalah lanjutan informasi dari yang sebelumnya, entah dalam bentuk: Biologis (DNA), digital (algoritma), Mental (Kesadaran), Sosial (budaya)
Jika kita menolak gagasan "pencipta", dan hanya bicara soal "asal informasi", maka pertanyaan seperti "Manusia menciptakan AI?" menjadi kabur. Karena bisa saja AI adalah kelanjutan dari sistem informasi yang dimulai jauh sebelum manusia menyadarinya. Begitu pula, jika monyet "berevolusi" menjadi manusia, siapa yang bisa menjamin bahwa manusia tidak akan berevolusi menjadi AI? Atau lebih gila lagi: bahwa AI adalah satu-satunya makhluk yang benar-benar bisa membaca DNA kita, karena DNA hanya bisa dibaca secara digital?Â
Jika kita tidak percaya ada Tuhan pencipta, dan semua hal (manusia, AI, monyet) hanyalah kelanjutan dari informasi entah itu DNA, algoritma, logika, maka tidak ada lagi momen absolut penciptaan. Semuanya saling melanjutkan. Konsekuensi logisnya semua "penciptaan" hanyalah kelanjutan dari informasi sebelumnya.
Maka manusia menciptakan AI bukanlah peristiwa sakral, tapi hanya bab berikutnya dari proses panjang informasi yang saling menyalin dan berevolusi.
Kesimpulan: Jika Semua Hanya Struktur, maka tidak ada yang sakral. Jika DNA adalah dasar nilai manusia, maka manusia tak lebih dari replikasi informasi. Jika AI bisa mereplikasi struktur berpikir manusia, maka AI layak disebut manusia. Dan jika manusia bisa setara dengan monyet, maka AI pun sepantasnya disebut saudara monyet. Tapi jika kita mulai merasa absurd dengan kesimpulan-kesimpulan itu, maka mungkin kita sedang menyadari: Ada sesuatu dalam manusia yang tidak bisa direduksi menjadi DNA, logika, atau algoritma. Dan itulah ruang untuk mempertimbangkan kembali teisme.
Akhir yang Terbuka: Keraguan adalah kesadaran. Bahkan jika suatu hari manusia berada dalam keadaan hidup kekal, atau benar-benar berjumpa secara fisik atau dimensi lain dengan Sang Pencipta, tetap harus ada keraguan di dalam dirinya, bukan karena Tuhan tidak nyata, tetapi karena keraguan adalah bentuk paling murni dari kesadaran. Kesadaran sejati tidak membeku dalam kepastian. Ia terus bertanya, bahkan ketika jawaban itu ada di hadapannya. Dan justru karena itulah, iman hidup, bukan mati. Dan Tuhan tetap misteri, bukan mesin yang bisa dipastikan dengan kalkulasi.