Bagaimana orang-orang seperti itu bisa ada di sepak bola akar rumput, dan masuk grup pula. Tidak tahu kompetisi sepak bola kita terhenti karena politik. PSSI juga hanya jadi kendaraan politik. Lihat Ketua Umum PSSI kita sekarang, apa yang sedang dirintisnya di luar sepak bola? Mau jadi Gubernur, mengikuti pendahulunya. Apa namanya? Sepak bola untuk politik atau politik numpang sepak bola?
Lewat artikel ini, saya mengetuk PSSI, lihat pembina dan pelatih akar rumput kita. Dan, harus diingat, ini Indonesia, bukan negara lain Asia Tenggara, Asia, dan Dunia. Maka, pembina/pelatih sepak bola akar rumput adalah ujung tombak.
Saat sekolah formal tak tatap muka, SSB dan sejenisnya bisa menggantikan ikut mendidik siswa yang sama.
Tapi bila fakta dan kondisinya seperti ini, apa yang bisa diharapkan dari akar rumput sepak bola?
Pembina dan pelatih sepak bola akar rumput wajib memiliki kompetensi menjadi pendidik yang secara berkala pun ada uji kompetensinya karena yang dihadapi anak-anak pondasi bangsa.
Lihatlah, guru sekolah formal yang berkompeten saja, berkali-kali saat ikut Uji Kompetensi Guru (UKG) tak lulus, lho.
Coba simak apa yang diungkap oleh Yusuf Kurniawan (Yuke), komentator sepak bola nasional yang sekaligus Direktur Kompetisi Sepak Bola Akar Rumput Swasta melalui pesan WA kepada saya, Rabu (6/1/2021)
"Sepakbola banyak mengajari kita bagaimana memaknai hidup yang bermanfaat, tidak harus selalu menjadi pemain bola pro endingnya, tapi seberapa bermanfaatnya kita (dan anak-anak kita nanti) untuk kehidupan di sekitar kita. Itulah esensi hakiki yang menurut saya sebagai parameter sukses kita berkecimpung di sepakbola."
Pertanyaannya, mampukah pembina/pelatih sepak bola akar rumput yang tak berkompeten menjadi guru di lapangan mengantar siswa/pemain seperti yang diungkap oleh Yuke untuk kehidupan bila tak berbekal ilmu dan berwawasan cukup standar baik yang didapat secara formal dan nonformal?