Pertanyaanya, khususnya di sepak bola akar rumput kita yang menjamur tak beraturan dan PSSI pun adem ayem membiarkan, padahal sektor ini menjadi pondasi dan kawah candradimukanya sepak bola nasional dan kemajuan bangsa.
Cukupkah bekal keilmuan para pembina dan pelatih mentransfer keilmuan ISEAKI dan TIPS untuk anak-anak? Saya sudah tahu, setingggi-tingginya materi kepelatihan lisensi A, khususnya untuk konsumsi Indonesia, tidak menjangkau kebutuhan dasar ISEAKI dan TIPS anak. Apalagi materi kepelatihan di bawahnya.
Ironisnya, sektor akar rumput kita justru banyak diampu oleh pembina/pelatih berlisensi D/C yang kebanyakan para pembina/pelatihnya pun berpendidikan formal SMP/SMA atau mantan pemain.
Sudah begitu, sepanjang pengamatan saya, mereka sangat yakin dan sudah merasa cukup dengan bekal itu, dan dengan mudahnya menjadi pelatih SSB yang siswanya bila sekolah di sekolah formal, gurunya minimal harus Sarjana, pun sesuai bidangnya.
Saya juga mengamati, banyak pembina/pelatih di akar rumput, meski pendidikan formalnya hanya SMP/SMA dan lisensinya pelatihnya D/C/ bahkan di atasnya, mau belajar, mau membaca, sebab yang dihadapi anak usia dini yang asupannya bukan melulu di teknik dan speed bermain bola.
Namun, hitungan saya, masih terlalu banyak pembina/pelatih di akar rumput yang tak memenuhi syarat, bahkan hanya modal lisensi D dan pendidikan formal tak tinggi, sudah "bergaya" seperti pelatih profesional. Padahal tak paham ilmu  pedagogi yaitu ilmu atau seni dalam menjadi seorang guru. Istilah ini merujuk pada strategi pembelajaran atau gaya pembelajaran. Pedagogi juga kadang-kadang merujuk pada penggunaan yang tepat dari strategi mengajar. Pelatih=guru.
Sehingga, seorang pembina/pelatih akar rumput wajib menguasai keilmuan pedagogi sesuai taksonomi Bloom (kognitif, afektif, psikomotor) yang saya padukan dengan ISEAKI dan TIPS.
Untuk itu, menjadi keharusan para pembina/pelatih akar rumput kita memiliki kompetensi-kompetensi keilmuan tersebut yang lebih dari sekadar lisensi pelatih sepak bola yang materi kepelatihannya belum mengakomodir dan sangat tidak cukup seperti yang tergambar dari Kurikulum Filanesia.
Lihat, sekolah formal yang diampu oleh para guru yang sesuai standar saja, hasil pendidikan kita terus tercecer. Bagaimana sepak bola kita? Sama terus tercecer karena para pembina dan pelatihnya banyak sekali yang tak layak ada di sektor sepak bola akar rumput.
Yang lucu, saat para pembina/pelatih akar rumput ini sudah tergabung dalam grup-grup whatsapp (WA), sudah tak jelas lagi, semuanya sudah merasa berada di tempat yang benar, padahal dari bekal keilmuannya masih jauh dari harapan.
Sudah begitu, untuk belajar dan membaca pengetahuan umum di luar sepak bola tidak mau. Apalagi bila disuguhi bacaan berbau politik yang masih sangat nyambung dengan sepak bola. Maunya fokus sepak bola saja. Dikasih bacaan atau berita atau untuk nambah ilmu kompetensi di luar sepak bola, malah hanya baca judul, langsung bisa komentar, ambil kesimpulan, sok tahu bak ahli atau pengamat sepak bola.