Mohon tunggu...
Tofik Pram
Tofik Pram Mohon Tunggu... Jurnalis - Warga Negara Biasa

Penulis dan editor konten lepas http://tofikpr.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karna dalam Prosa

1 Maret 2013   00:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:31 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tofikpr.files.wordpress.com

KARNA lahir dari telinga Kunti, ibu para Pandawa –yang dalam epik Mahabarata itu mendapat peran sebagai pihak ”baik”. (Dengan sangat terpaksa saya gunakan tanda kutip untuk kata “baik”, karena kebaikan dalam dunia wayang itu multiinterpretatif. Sumir. Sebab, saya masih belum bisa menerima keputusan Yudhistira mempertaruhkan Drupadi dan kerajaan Indraphastra di meja judi itu sebagai sebuah kebaikan tanpa tanda kutip.) Kembali ke Karna. Kelahirannya tak pernah diinginkan dan dia diasingkan di dalam hutan sejak bayi. Dia lahir dari upaya Kunti yang ingin coba-coba. Kunti yang ingin mencoba kesaktian ilmu Adhityahredaya, hadiah dari Resi Duwarsa. Ilmu yang membuatnya leluasa untuk minta anak pada dewa apa saja. Dan Kunti menjajal ilmunya dengan Dewa Surya. Ilmu itu ampuh, lalu Kunti mengandung tanpa suami. Lama-lama dia ketakutan sendiri. Dia akan dicap sebagai pelacur murahan yang hamil di luar nikah. Dan dia memohon pada Dewa Surya untuk mencabut kembali anugerahnya itu. Dewa Surya pun marah. Katanya; “Buat anak kok coba-coba!” Untungnya dia dewa. Dia baik. Tapi dia anti meminta kembali sesuatu yang sudah dia berikan pada manusia. Nanti bisa timbilen. Dia ambil jalan tengah. Anak itu harus dilahirkan, tapi Kunti tetap perawan. Caranya? Ya itu tadi, Karna dikeluarkan dari kuping. Mungkin karena dia lahir dengan cara yang aneh, dari kuping, Karna menjadi sosok yang tak bisa diterima. Kelahirannya pun bukan karena keinginan. Segala hal yang bertentangan dengan ingin, kerap ditolak.

***

KARNA dibuang, dan ditemukan oleh seorang kusir jelata bernama Adirata. Karna besar dalam lingkungan miskin. Di masa tumbuhnya, layaknya anak-anak atau pemuda di dunianya itu, Karna juga butuh pendidikan. Dia ingin menjadi ksatria bergelar, laiknya sarjana sekarang. Dalam kurikulum dunia wayang, setiap pemuda yang ingin lulus membawa gelar ksatria harus menempuh pelajaran sastra dan seni perang. Karena, sesuai alur cerita, nantinya mereka harus berlaga di Padang Kurusetra. Karna juga ingin menguasai ilmu itu untuk bekal dia hidup. Mau tak mau, dia nantinya juga harus ikut berlaga di Kurusetra. Tuhan dunia pewayangan menakdirkan semua tokoh harus berperang. Celakanya, dia miskin, tanpa orangtua, dan waktu itu tidak ada kucuran APBD untuk pendidikan siswa miskin, apalagi bantuan operasional sekolah (BOS). Tanpa memiliki selembar pun syarat administratif, karna mencoba blusukan sendiri untuk mencari guru. Hingga dia mendengar ada guru superhebat, piawai di bidang sastra dan seni pertempuran, membuka lowongan murid. Namanya Durna. Layaknya seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN), Karna pun ikut tes. Saingannya tak main-main; para Pandawa dan Kurawa yang notabene berdarah ningrat Kerajaan Astina. Nah, di sinilah wajah ketidakadilan dunia pendidikan ditampilkan telanjang; siswa miskin tak mendapat tempat untuk pendidikan (formal) yang layak. Di dunia wayang pun, kisah diskriminasi anak-anak miskin di dunia pendidikan pun berlaku. Karna pulang, karena tidak lulus SNMPTN-nya universitas Durna. Kecewa memang. Apalagi alasannya hanya karena Karna miskin bukan dari trah kerajaan. Pendidikan hanya punya orang-orang kaya. Yah, tapi inilah nasib yang harus diterima Karna, sebagai papa yang tak jelas keturunannya. Memang, sebenarnya dia punya darah ksatria atau ningrat. Tapi dia dibuang dari kartu keluarga Pandu dan Kunti. Meminjam istilah Anas Urbaningrum, Karna adalah bayi yang tak pernah diharapkan kelahirannya. Dia ditolak.

***

TAPI miskin bukan berarti bodoh. Karna sadar itu. Dia pun berkelana keliling negeri Astina untuk meraup ilmu secara swadaya. Dia belajar di university of life, universitas kehidupan yang tak menjanjikan gelar tapi menggerojokan ilmu yang lebih universal. Karna berusaha keras. Dia belajar banyak ilmu dari banyak guru. Dia belajar dari alam semesta dengan kesungguhan yang penuh. Mungkin, kalau saja Karna bertemu Paulo Freire, tokoh kritis pendidikan asal Brasil itu, Pak Paulo itu akan angkat topi, tabik terhadap metode mandiri yang ditempuhnya. Karena, Karna sadar dia bukan “celengan”, meminjam istilah Freire yang mengkritisi metode pendidikan modern, di mana siswa hanya menampung informasi dari guru atau dosen dan otaknya hanya berfungsi sebagai penyimpanan, bukan pengolahan, sehingga esensi pendidikan tak mengena. Setelah menempuh proses panjang, malang melintang di dunia rantau, Karna berhasil menguasai ilmu –yang secara formal diajarkan Durna di universitasnya. Bahkan, capaiannya lebih tinggi. Pengalaman memang sangat berharga. Lebih berharga dari kuliah dosen di dalam kelas. Karna melawan arus. Dan dia mendapat hasil yang jauh lebih bagus. Bukti kesaktian Karna di atas para alumnus Universitas Durna itu dibuktikannya pada lomba memanah yang diadakan di Astina. Awalnya, lagi-lagi, dia sempat ditolak. Dia tak boleh ikut karena dia bukan ksatria. Untunglah ada Duryodana yang membelanya, hingga Karna bisa ikut berkompetisi. Duryodana lebih menghargai orang tanpa memandang pangkat. Di sinilah saya heran, kenapa kebanyakan orang melihat Duryodana itu jahat. Karna beradu dengan Arjuna –gaconya Pandawa yang jago memanah—setelah sebelumnya pernah dihina oleh adik-adik kandung yang tak pernah dikenalnya itu. Dan, Karna jadi pemenang. Arjuna bertekuk muka karena malu. Si ganteng diam-diam menyimpan dendam.

***

PADA babakan selanjutnya, lagi-lagi, kisah memparadekan ketidakadilan bagi orang-orang mandiri tanpa pangkat. Cintanya pada Drupadi bertepuk sebelah tangan. Kendati dia telah memenangi sayembara memanah untuk mendapatkannya, Karna ditolak. Drupadi emoh, dan menganggap Karna; “Siapa elo?” Dan akhirnya Drupadi kualat, dijadikan bancakan dalam poliandri dengan Pandawa. Penolakan Drupadi adalah penolakan besar untuk keempat kalinya bagi Karna, setelah dia ditolak oleh Kunti, Durna, dan kompetisi memanah itu –sebelum Duryodana datang membelanya. Karna, yang mendapat kemampuannya dari usaha kerasnya sendiri, yang harusnya layak dihargai karena usaha kerasnya, harus ditempatkan sebagai orang yang kalah. Di padang Kurusetra, dia berpihak pada Kurawa –karena dia merasa Kurawa wajib mempertahankan Astina dari “pemberontakan” para Pandawa. Juga karena dia menghargai Duryodana yang telah menghargainya. Tapi, tragedi Kurusetra menampilkan Padawa sebagai juara. Karna tumpas diterjang anak panah Arjuna, yang lama memendam dendam –setelah si ganteng mendapat bisikan licik dari Khrisna yang konon bijaksana itu. Bijaksana dalam kelicikan. Dunia kadang tidak adil. Tak banyak tempat bagi orang-orang mandiri dan mau maju. Apalagi, ketika secara sengaja, memilih kubu yang ditempatkan pada pihak jahat. Dan harus kalah. Kendati parameter “kebaikan” dan “kejahatan” itu kian sumir. Mahakarya Mahabharata jelas menggambarkannya. Karna ditolak oleh kemenangan, sebagai pelengkapan penolakan-penolakan sebelumnya. Sayang sekali. (*) [caption id="" align="aligncenter" width="442" caption="tofikpr.files.wordpress.com"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun