Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Bendera Setengah Tiang

13 Agustus 2022   15:05 Diperbarui: 15 Agustus 2022   21:30 1333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bendera merah putih. (Foto: KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ) 

Tapi aku tak perlu mengorek banyak cerita, Pak Suroso begitu terbuka menceritakan kisah hidupnya.

Beliau tinggal seorang diri, anak dan istrinya meninggal dunia hanya selang beberapa bulan saja. Anaknya adalah salah satu korban tragedi Trisakti. Salah satu pendemo yang diberi dukungan penuh oleh ayahnya dalam menyuarakan kebenaran. Nahasnya, setelah kematian sang anak, istrinya mulai sakit-sakitan karena kehilangan anak satu-satunya. Selang tiga bulan kemudian, istrinya pun berpulang.

Sekalipun tak berkaca-kaca, aku bisa mendengar suaranya bergetar. Menahan emosi luar biasa.

Aku pamit sebentar untuk pulang, sepertinya perbincangan ini akan panjang, ku buatkan 2 cangkir kopi dari rumah untuk sore kami yang indah.

"Loh, kok malah tamunya yang bawa kopi?"

"Nggak apa-apa, Pak. Kebetulan saya punya kopi Lombok, kiriman dari teman."

Pak Suroso menyeruput kopinya, kemudian kembali menghisap kreteknya dalam-dalam seraya mengembuskan kepulan-kepulan asap tipis.

"Orang tua mana yang mau mengorbankan anaknya, tapi saat itu saya ndak berpikir demonya akan jadi anarkis. Kalau saja saya bukan TNI mungkin saya ada di barisan Randu dan rekan-rekannya di sana.

Kondisi yang tidak kondusif membuat kami harus menembakkan gas air mata ke para pendemo. Memang salahnya beberapa rekan aparat mengejek para mahasiswa yang sebenarnya sudah bergerak mundur saat itu.

Kamu tahu rasanya harus melawan anak sendiri? Sakit. Ada rekan saya yang mengenali Randu, ia menyarankan agar saya menyuruh Randu pulang. Tapi saya ndak mau, Randu ke sini bukan karena paksakan. Randu sudah dewasa, dia siap dengan segala konsekuensi yang ada.

Randu sempat hilang dari kerumunan, ternyata ia menelepon ibunya di rumah, ia tahu ibunya pasti mengikuti berita di televisi dan khawatir dengan kondisinya. Randu bilang ndak ada yang perlu dikhawatirkan, kondisinya tidak menyeramkan seperti yang disiarkan. Ibunya terus berdoa untuk saya dan anaknya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun