Mohon tunggu...
Tobias TobiRuron
Tobias TobiRuron Mohon Tunggu... Guru - Hidup adalah perjuangan. Apapun itu tabah dan setia adalah obatnya.. setia

Anak petani dalam perjuangan.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Emosi dan Tebas Tangan

6 Januari 2023   16:55 Diperbarui: 6 Januari 2023   16:58 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Sore itu sekitar tahun 1996. Kala itu saya duduk di SD kelas VI, adik saya Belia kelas IV dan si bungsu Ota di kelas I SD. Setelah makan siang saya mengajak ke dua adik saya untuk bermain balam-balam/Weo di halaman rumah. Halaman rumah saat itu tidak terlalu luas. Rumah saat itu beratapkan alang-alang, berlantai tanah dan berdinding bilah bambu.

Halaman rumah yang tidak terlalu luas ini namun menjadi tempat yang nyaman untuk kami bermain sekedar melepas penat dari hiruk pikuk kehidupan. Bapak saat itu di kebun dan mama ada di rumah membereskan segala keperluan di rumah.

Kami pun segera mengumpulkan beberapa buah balam-balam/weo untuk keperluan permainan tradisional ini. permainan ini sangat membutuhkan kecermatan dan ketepatan dari para pemain. Tidak ada sanksi yang berarti dalam permainan ini selain melakukan kesalahan maka kesempatan selanjutnya di berikan kepada teman yang lain.

Ada beberapa tahapan yang harus dilalui oleh setiap pemain sebelum mengklaim dirinya adalah pemenang dalam permainan tersebut. Permainan dimulai dengan membuat garis berbentuk segi empat dan ada lima buah balam//weo yang berada didalam garis tersebut.

Setelah melalui tahapan dengan menentukan siapa yang terlebih dahulu bermain dengan cara pompisut saya mengawali permainan tersebut.

Tahap pertama harus berusaha mengeluarkan lima buah balam/weo tersebut. Tahap ke dua adalah Nedi yakni membuat garis lurus lalu mendudukan balam/weo tersebut lalu melemparnya.

Setelah melakukan kesalahan giliran berikutnya adalah adik saya yang ke dua Belia dan seterusnya. Ke dua adik saya ini cukup lihai dan begitu menguasai permainan sehingga keduanya mengeluarkan suara menyindir saya saat itu.

Karena sering kalah emosi saya perlahan mendidih. Ke dua adik saya ini bermain dengan lincah. Suara lirih datang juga dari teman-teman lainnya yang saat itu hadir untuk menonton.

Amarah saya akhirnya memuncak. Saya tidak bisa menahan betapa erosi kemarahan saat itu menjadi. Saya akhirnya gelap mata dan mengambil parang yang disimpan dibawah kolong bale-bale serta langsung memotong tiga jari kanan adik saya Ota. Darah segar mengalir deras seketika.

Ota menangis sejadinya. Saya pun menangis seketika melihat darah mengalir begitu banyak. Suara mama terdengar cukup keras saat memanggil. Mama berlari begitu kencang untuk melihat. Mama menangis melihat tangan Ota yang penuh dengan darah. Karena kesal dengan perbuatan saya tersebut mama memukul saya dan menggigit lengan saya hingga darah. Saya pun lari ketakutan dan bersembunyi di Pohn Bao tepatnya di Rara wutun. Saya takut Bapak.

Mama dan beberapa orang akhirnya membawa adik saya Ota untuk diobati.hari mulai malam. Dari kejauhan saya melihat Bapak pulang dari kebun. Saya tetap bersembunyi dan tidak mau pulang. Dari kejauhan saya mendengar suara bapak saya marah.

Ia pun memanggil saya dengan suara yang cukup keras. Beberapa kali saya tidak menjawab. Namun pada akhirnya saya menjawab panggilan tersebut dan langsung menuju ke rumah. Saya begitu takut untuk menghadapi bapak. Dalam hati saya berkata ini pasti kena pukul.

Bapak nampak begitu marah. Saya mencoba memberanikan diri untuk mendekat bapak. Tiba-tiba tangan mendarat di pipi saya. Mendengar itu, mama langsung berlari menuju ke saya dan langsung memeluk saya dengan eratnya. Emosi bapak kian menjadi dan mencoba memukul dan mengarah kepada kepala saya namun mama begitu cekatan menutup kepala saya dengan tangannya. Tangan bapak mengenai jam yang dikenakan mama dan jam tersebut pecah.

Mama pun membawa saya untuk menjauh dari bapak dan berusaha menenangkan saya. Bapak pun memeluk adik saya Ota dan memangkuhnya. Melihat adik saya Ota saya menangis. Bapak dan mamapun akhirnya memberikan nasihat kepada kami bertiga terutama saya sebagai anak besar. Pesan bapak dan mama" moi bine moe pe mae siu. Mae ka awada pee bine moe ( jaga saudarimu baik baik. Baik atua buruk itu saudarimu). Setelah itu saya meminta maaf dan memeluk adik saya ota.

(Tobias Ruron)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun