Ketika Ilmu Tak Lagi Dihargai: Suara Hati Para Dosen   Â
Oleh: Tobari
Sudah terlalu lama para dosen memikul beban berat, tetapi hanya menerima penghargaan yang ringan. Di balik ruang kelas, laboratorium, dan kegiatan pengabdian, ada sosok-sosok yang diam-diam berjuang membangun masa depan bangsa. Mereka bukan sekadar pengajar. Mereka peneliti, pendidik, pembina karakter, penggerak masyarakat, bahkan penjaga akal sehat republik ini.
Namun ironisnya, tunjangan fungsional yang menjadi bentuk pengakuan negara terhadap kontribusi dosen, nyaris tidak berubah sejak 2007. Hampir dua dekade stagnan, tanpa penyesuaian terhadap inflasi, kenaikan harga kebutuhan pokok, apalagi beban kerja akademik yang terus bertambah.
Bayangkan, seorang Lektor Kepala masih menerima tunjangan fungsional sebesar Rp.900 ribu per bulan, sementara rekan selevel di profesi lain seperti peneliti bisa mendapat Rp.3.150 ribu. Perbandingan ini tak hanya mencolok, tapi mencederai keadilan.
Kebijakan yang Tak Lagi Relevan
Di satu sisi, negara menuntut para dosen untuk terus produktif, mengajar, meneliti, membimbing mahasiswa, menulis buku, aktif di jurnal internasional, mengikuti program Merdeka Belajar, dan tetap menjadi pemikir kritis. Di sisi lain, pengakuan finansial mereka tetap mandek. Ini bukan soal angka semata. Ini soal penghargaan terhadap ilmu dan orang-orang yang mengabdikan hidupnya pada pendidikan tinggi.
Beban kerja dosen jauh lebih kompleks dari sekadar memberi kuliah. Para dosen harus berpikir, meneliti, menulis, dan membimbing dengan ketekunan tinggi. Banyak dari mereka tetap menjadi manusia pembelajar meski sumber daya terbatas. Bila ketimpangan ini terus dibiarkan, bukan tak mungkin muncul efek domino: motivasi menurun, riset berkurang, pengabdian stagnan, bahkan brain drain, dosen-dosen terbaik memilih hengkang ke luar negeri atau ke sektor swasta.
Peringatan dari Policy Brief ADAKSI
Hal ini secara gamblang diurai dalam Policy Brief ADAKSI tertanggal 25 Juli 2025 berjudul:
"Tunjangan Fungsional Dosen yang Tidak Laik: Harga Emas Saja Naik", yang ditulis oleh tim akademisi dari berbagai perguruan tinggi negeri, yaitu; Yulita S. Pongtambing, M.K.M. (UNM); Sucy Delyarahmi, S.H., M.H. (Unand); Prof. Dr. Nikolas Fajar Wuryaningrat, S.E., M.Sc. (Unima); Ir. Eliyah Acantha Manapa Sampetoding, M.Kom. (Unhas); dan Dr. Evi Ristiana, M.Pd. (UNM).