Mohon tunggu...
Tiyarman Gulo
Tiyarman Gulo Mohon Tunggu... Penulis

Menulis adalah jalan cuanku!

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Hancur di Tepi Mimpi, Garuda Kembali Belajar Terbang Lebih Tinggi!

13 Oktober 2025   00:59 Diperbarui: 13 Oktober 2025   00:16 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hancur di Tepi Mimpi! Timnas Indonesia Dipastikan Gagal ke Piala Dunia 2026 Usai Kalah dari Irak (jawapos.com/Sri Wahyuni)

Langit Jeddah masih pekat saat peluit panjang berbunyi. Skor akhir 0--1 terpampang di papan elektronik, sederhana, tapi menyakitkan. Beberapa pemain Timnas Indonesia menunduk lama. Di tribun, segelintir suporter yang datang dari jauh mematung dalam diam, seperti tak percaya mimpi itu berakhir secepat ini.

Mimpi yang mereka bawa dari tanah air, tentang Garuda yang bisa terbang sampai Piala Dunia, kini benar-benar hancur di tepi.

Garuda gagal ke Piala Dunia 2026 usai kalah dari Irak. Meski pahit, perjuangan Timnas Indonesia jadi pelajaran berharga untuk terbang lebih tinggi. - Tiyarman Gulo

Harapan yang Nyaris Nyata

Beberapa bulan lalu, euforia sempat membuncah di seluruh negeri. Timnas Indonesia berhasil menembus Ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia, pencapaian tertinggi sepanjang sejarah sepak bola nasional.

Sebuah lompatan besar untuk tim yang dulu bahkan sulit menembus fase awal.

Di warung kopi, di kampus, di perkantoran, orang-orang mulai berandai-andai,

"Gimana kalau beneran lolos, ya?"

"Bayangin aja, Indonesia main di Piala Dunia!"

Tapi mimpi kadang kejam, ia memperlihatkan betapa dekatnya kamu dengan tujuan, sebelum menutup pintu tepat di depan wajahmu.

Pertandingan Hidup dan Mati

Di Stadion King Abdullah Sports City, Jeddah, Minggu dini hari waktu Indonesia, skuad Garuda datang dengan satu misi sederhana, menang atau setidaknya bertahan hidup di kompetisi.

Patrick Kluivert menurunkan skuad terbaiknya, kombinasi pemain lokal dan naturalisasi yang sudah mulai padu.

Maarten Paes di bawah mistar, Jay Idzes dan Rizky Ridho di jantung pertahanan, Thom Haye dan Eliano Reijnders di lini tengah, hingga Mauro Zijlstra di depan.

Namun Irak bukan lawan sembarangan. Tim yang diasuh Graham Arnold itu tampil disiplin dan sabar.

Babak pertama berakhir tanpa gol, tapi semua orang tahu, ketegangan di lapangan terasa seperti bom waktu.

Dan benar saja, di menit ke-75, Zidane Iqbal, pemain muda keturunan Irak-Inggris, melepaskan tembakan keras yang meluncur mulus ke pojok gawang Paes.

1--0.

Sunyi. Hening.

Garuda jatuh, bukan karena tak berjuang, tapi karena belum cukup kuat.

Kalah, Tapi Tidak Memalukan

Ada kekalahan yang menyesakkan karena kita bermain buruk. Tapi ada juga kekalahan yang justru membanggakan, karena kita tahu semua tenaga sudah dicurahkan.

Kekalahan dari Irak termasuk yang kedua.

Indonesia menciptakan peluang.

Menekan. Bertahan dengan disiplin.

Namun perbedaan kualitas tetap terlihat, sentuhan akhir, kecepatan transisi, dan kedalaman bangku cadangan.

Kluivert tampak tenang di pinggir lapangan, tapi sorot matanya menyimpan kecewa yang dalam.

Setelah peluit akhir, ia hanya menepuk pundak anak-anak asuhnya, gestur sederhana yang berarti, "Kalian sudah berjuang."

Dari Euforia ke Realita

Bagi banyak orang, kekalahan ini bukan sekadar soal skor.

Ini tentang realita yang menampar, bahwa untuk sampai ke level dunia, mimpi saja tidak cukup.

Indonesia masih tertinggal dari banyak negara Asia lain, bukan karena talenta, tapi karena sistem.

Liga domestik masih inkonsisten, pembinaan usia muda belum masif, dan infrastruktur sepak bola di banyak daerah masih seadanya.

Namun, pencapaian sampai ronde 4 ini tetap harus diapresiasi.

Dulu kita bahkan tidak bisa membayangkan akan berhadapan dengan Arab Saudi atau Irak di babak akhir kualifikasi. Sekarang, kita berdiri di sana, walau akhirnya tersungkur.

Jejak Luka yang Berharga

Setiap kekalahan meninggalkan luka, tapi juga pelajaran.

Para pemain muda seperti Marselino Ferdinan dan Elkan Baggott kini tahu seperti apa rasanya bertarung di level Asia top-tier.

Mereka mencicipi atmosfer stadion megah, tekanan besar, dan permainan cepat lawan-lawan kuat.

Itu bukan kekalahan kosong. Itu modal belajar paling mahal.

Patrick Kluivert dan Jalan Panjang Reformasi Garuda

Kehadiran Patrick Kluivert di kursi pelatih sempat memantik harapan besar. Ia membawa filosofi sepak bola Eropa, disiplin taktik, permainan posisional, dan kepercayaan diri membangun serangan dari bawah.

Namun adaptasi tak pernah mudah.

Dalam waktu singkat, Kluivert harus menata ulang fondasi permainan yang masih rapuh, menyatukan pemain dari latar belakang berbeda, dan menghadapi lawan yang sudah matang secara struktur.

Dua kekalahan di awal bukan akhir cerita, justru bab awal untuk membangun sesuatu yang lebih besar.

Jika federasi dan publik sabar, Kluivert bisa jadi orang yang mengubah arah sepak bola Indonesia secara sistemik.

Mimpi yang Tertunda, Bukan Gagal Selamanya

Kegagalan ke Piala Dunia 2026 memang menyakitkan.

Tapi ini bukan tanda kiamat.

Mimpi itu hanya tertunda, menunggu generasi yang lebih matang, yang sudah belajar dari luka hari ini.

Sejarah selalu dimulai dari kegagalan.

Korea Selatan butuh puluhan tahun sebelum menjadi langganan Piala Dunia. Jepang bahkan sempat dipandang sebelah mata hingga akhirnya jadi raksasa Asia.

Indonesia pun bisa, asal kita berhenti mencari kambing hitam, dan mulai membangun sistem yang sehat, kompetisi berjenjang, manajemen profesional, dan pembinaan usia dini yang serius.

Garuda Akan Terbang Lagi

Mungkin bukan tahun ini.

Mungkin bukan di era Kluivert.

Tapi entah kapan, akan ada generasi yang berhasil mewujudkan mimpi ini, dan ketika itu terjadi, kita akan melihat ke belakang, mengingat malam kelabu di Jeddah ini sebagai awal dari semuanya.

Karena mimpi yang benar-benar kita perjuangkan tak akan pernah benar-benar mati.

Ia hanya beristirahat sejenak, menunggu waktu yang tepat untuk kembali mengudara.

Dari Tepi Mimpi ke Langit Nyata

Indonesia kalah. Ya, benar.

Tapi dari kekalahan itu, lahir kesadaran baru, bahwa sepak bola bukan sekadar adu skor, tapi perjalanan panjang menuju kedewasaan bangsa.

Dan seperti kata pepatah lama,

"Burung Garuda tak pernah takut badai. Ia hanya menunggu angin yang lebih besar untuk terbang lebih tinggi."

Garuda telah jatuh di tepi mimpi. Tapi percayalah, ia akan terbang lagi.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun