Madilog adalah perlawanan terhadap itu semua.
Buku ini mengajak pembacanya untuk berani bertanya "mengapa" dan "bagaimana", bukan hanya "siapa yang bilang."
Ia mengajak manusia untuk mengganti keyakinan buta dengan pengetahuan yang diuji oleh logika.
Dalam konteks modern, pesan Tan Malaka sangat jelas,
"Kita boleh beragama, boleh percaya, tapi jangan berhenti berpikir."
Kisah di Balik Penulisannya
Suasana Jakarta tahun 1942.
Tentara Jepang baru saja menggantikan Belanda. Rakyat hidup dalam ketakutan, ekonomi hancur, dan kebebasan berbicara lenyap. Di tengah situasi itu, seorang tokoh pelarian politik menulis buku tebal setengah ribu halaman yang berisi analisis filsafat.
Itulah Tan Malaka.
Ia menulis Madilog di Rajawali, dekat pabrik sepatu Kalibata, Cililitan.
Ia tidak punya akses ke perpustakaan, tidak punya keamanan, bahkan hidupnya terus dibayangi bahaya. Tapi ia tetap menulis, karena menurutnya, melahirkan cara berpikir baru jauh lebih penting daripada sekadar menyelamatkan diri.
Dalam catatan pribadinya, ia bahkan menceritakan bagaimana ketika perang Jepang,Tiongkok pecah, semua buku dan naskahnya habis dijarah. Tapi ia tidak putus asa,