Materi (Materialisme) berarti mengakui bahwa dunia ini nyata dan bisa dijelaskan lewat hukum alam, bukan hanya lewat kepercayaan gaib atau nasib.
Dialektika adalah cara memahami perubahan, bahwa segala hal di dunia ini bergerak, bertentangan, dan melahirkan sesuatu yang baru.
Logika adalah kemampuan manusia menggunakan akal sehat untuk menarik kesimpulan secara rasional.
Gabungan ketiganya menciptakan sebuah metode berpikir ilmiah dan kritis, yang oleh Tan Malaka dijadikan senjata utama melawan takhayul dan dogma yang membutakan bangsa.
Dalam salah satu bagian bukunya, Tan Malaka menulis bahwa penyakit terbesar rakyat Indonesia bukanlah kemiskinan, tetapi cara berpikir mistik dan pasrah pada nasib.
Selama rakyat lebih percaya pada dukun daripada data, lebih tunduk pada mitos daripada pengetahuan, maka kemerdekaan sejati tak akan pernah tiba.
Mengapa Masyarakat Perlu Madilog?
Kalau kita berhenti sejenak dan melihat ke sekitar, Tan Malaka mungkin akan menggelengkan kepala, bukan karena kekecewaan, tapi karena betapa relevannya pemikirannya hingga hari ini.
Lihat saja, Kita hidup di zaman media sosial, tapi hoaks masih dipercaya mentah-mentah.
Kita punya akses ke ilmu pengetahuan, tapi debat publik masih dikuasai emosi, bukan logika.
Kita punya demokrasi, tapi keputusan sering diambil berdasarkan perasaan, bukan pemikiran.
Tan Malaka sudah memperingatkan soal ini delapan puluh tahun lalu. Ia menulis bahwa masyarakat yang berpikir mistik cenderung menerima segala hal tanpa pertanyaan. Mereka mudah diarahkan, mudah ditipu, dan sulit maju.