Muncul potongan video seorang pejabat yang sedang berpidato. Bukan isi kebijakan yang Anda tangkap pertama kali, melainkan kalimatnya yang bikin kening berkerut. Ada yang salah ucap, ada yang terlalu tinggi ekspektasinya, ada pula yang terdengar meremehkan rakyat. Alhasil, isi kebijakan yang mungkin sebenarnya bagus jadi tenggelam karena satu-dua kalimat blunder.
Itulah yang baru saja terjadi dengan Menteri Agama Nasaruddin Umar. Dalam sebuah acara di UIN Syarif Hidayatullah, Tangerang Selatan (3 September 2025), beliau mengatakan, "Seorang guru itu harus suci di langit, suci di bumi. Kalian tidak gampang menjadi seorang guru. Kalau enggak sanggup, lebih baik serahkan mandatnya."
Kalimat itu seketika viral. Banyak yang menilai ucapan tersebut terlalu muluk, bahkan menyinggung perasaan sebagian guru. Tak lama berselang, Menteri Agama meminta maaf dan mengklarifikasi maksudnya. Namun seperti biasa, nasi sudah jadi bubur. Potongan video telanjur menyebar, opini publik terlanjur terbentuk, dan kepercayaan publik pun kembali goyah.
Fenomena ini membuat kita bertanya-tanya, mengapa pejabat di negeri ini begitu sering salah bicara? Apakah mereka kurang berlatih? Ataukah memang public speaking dianggap sepele dalam dunia birokrasi?
Public speaking pejabat sering blunder, ucapan salah bikin gaduh, kepercayaan publik turun. Saatnya serius belajar bicara dengan benar. - Tiyarman Gulo
Mengulang Blunder yang Sama, Belajar atau Tidak Belajar?
Jika kita menengok ke belakang, kasus salah komunikasi pejabat sebenarnya bukan barang baru. Dalam 150 hari pertama pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto bahkan secara jujur mengakui bahwa strategi komunikasi adalah salah satu kelemahan utama kabinetnya.
Pernyataan ini bukan sekadar basa-basi. Nyatanya, beberapa kali ucapan pejabat justru memicu kegaduhan yang sebetulnya bisa dihindari. Misalnya, ada yang mengatakan harga kebutuhan pokok tidak mahal padahal masyarakat mengeluh sebaliknya. Ada pula yang menyinggung rakyat supaya "bersyukur" meski kondisi ekonomi sedang sulit.
Semua contoh ini menunjukkan satu pola, pejabat sering kali gagal menyelaraskan ucapan dengan realita yang dirasakan rakyat. Alhasil, apa yang seharusnya menjadi jembatan komunikasi malah berubah menjadi jurang pemisah.
Mengapa Public Speaking Jadi Masalah Serius?
Banyak orang menganggap kemampuan bicara hanyalah soal gaya. Padahal, dalam konteks pejabat publik, public speaking adalah soal kepercayaan. Satu kalimat yang salah bisa membuat kebijakan penting tidak dipercaya masyarakat.
Ada beberapa alasan mengapa masalah ini terus berulang,
- Kurangnya Pelatihan Komunikasi
Banyak pejabat diangkat karena kapasitas politik, militer, atau birokrasi, bukan karena kemampuan komunikasinya. Padahal, menjadi pejabat publik artinya otomatis menjadi komunikator publik. - Budaya Asal Bicara
Di Indonesia, masih banyak pejabat yang terbiasa bicara tanpa naskah, tanpa latihan, bahkan tanpa cek ulang. Gaya spontan ini kadang dianggap jujur, tetapi sering kali berujung pada blunder. - Minimnya Speechwriter Profesional
Di negara-negara maju, pidato pejabat hampir selalu ditulis oleh tim profesional yang paham konteks sosial, budaya, dan politik. Di sini? Tidak jarang pejabat menulis sendiri atau sekadar mengandalkan staf tanpa keahlian khusus. - Tekanan Publik dan Media Sosial
Zaman dulu, ucapan pejabat hanya tercatat di koran atau televisi. Sekarang, dalam hitungan detik, potongan video bisa viral ke seluruh negeri. Sekecil apa pun salah ucap, dampaknya membesar.
Dampak Buruk Salah Bicara
Mengapa hal ini perlu dikhawatirkan? Karena komunikasi pejabat bukan sekadar basa-basi. Ada dampak nyata ketika mereka salah bicara,
- Kebijakan Jadi Tidak Diterima
Kebijakan yang bagus bisa ditolak rakyat hanya karena penyampaiannya buruk. Misalnya, program kenaikan gaji guru mungkin terdengar mulia, tapi jika dibungkus dengan ucapan yang menyinggung, pesannya hilang. - Krisis Kepercayaan
Rakyat semakin sulit percaya pada pejabat. Ucapan blunder dianggap bukti bahwa mereka tidak peka terhadap realita. - Potensi Konflik Sosial
Salah kata bisa memicu protes, bahkan perpecahan di masyarakat. Di era digital, percikan kecil bisa jadi api besar.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Lalu, bagaimana agar hal-hal seperti ini tidak terus terulang? Ada beberapa solusi realistis yang bisa dipertimbangkan,
- Menggunakan Speechwriter Profesional
Pejabat seharusnya tidak malu memiliki penulis pidato. Justru itu menunjukkan keseriusan. Di Amerika Serikat, Inggris, hingga Jepang, pidato presiden dan menteri ditulis oleh tim ahli bahasa dan komunikasi. - Pelatihan Public Speaking
Sama seperti pilot yang rutin latihan simulasi, pejabat juga perlu pelatihan komunikasi berkala. Public speaking bukan bakat, melainkan keterampilan yang bisa diasah. - Simulasi Krisis Komunikasi
Pejabat perlu dilatih menghadapi situasi sulit, misalnya saat menjawab kritik, pertanyaan sensitif, atau menghadapi protes. Dengan simulasi, mereka tidak mudah terpancing emosi. - Menghargai Profesi Humas dan Komunikator Politik
Sering kali, pejabat menganggap staf humas hanya "pengatur acara". Padahal, humas adalah garda depan dalam mengatur bagaimana pesan pemerintah sampai ke publik.