Mohon tunggu...
Tiyarman Gulo
Tiyarman Gulo Mohon Tunggu... Penulis

Menulis adalah jalan cuanku!

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Royalti Hajatan? Siapa Sebenarnya yang Wajib Bayar?

14 Agustus 2025   14:05 Diperbarui: 14 Agustus 2025   13:13 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ahmad Dhani saat ditemui di FX Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa (10/9/2024). KOMPAS.com/Revi C Rantung 

Anda dan pasangan sedang duduk manis, menyusun daftar lagu cinta untuk hari pernikahan. Lagu "Kangen" dari Dewa 19 wajib ada, "Kamulah Satu-Satunya" untuk momen potong kue, dan mungkin beberapa lagu hits lain untuk dinyanyikan bersama teman-teman. Semuanya terasa sempurna.

Tiba-tiba, Anda membaca sebuah berita, "Putar Lagu di Hajatan Wajib Bayar Royalti!"

Dunia serasa runtuh. Di tengah pusingnya memikirkan biaya katering, gedung, dan baju pengantin, kini muncul "pajak musik"? Jangan-jangan nanti ada petugas datang menagih di tengah acara resepsi? Keringat dingin mulai bercucuran.

Tenang. Tarik napas dalam-dalam. Jangan dulu batalkan organ tunggal atau playlist Spotify Anda. Polemik yang bikin geger ini sejatinya lebih sederhana dari yang Anda bayangkan. Dan di pusat badai ini, ada seorang Ahmad Dhani yang "ngamuk" di media sosial. Uniknya, kemarahan sang maestro ini justru menjadi kunci untuk memahami semuanya. 

Mari kita urai benang kusut ini bersama-sama, dengan bahasa paling sederhana.

Ahmad Dhani kritik royalti hajatan. Faktanya, hukum hanya mewajibkan untuk penggunaan komersial. Pesta nikahan pribadi gratis karena non-komersial. - Tiyarman Gulo

Kemarahan Sang Maestro, "Sistem Ancur Banget!"

Ahmad Dhani, seorang musisi yang dikenal paling vokal soal hak royalti, tiba-tiba meledak. Tapi bukan mendukung penarikan royalti di hajatan, ia justru mengkritik keras sistemnya.

"Ini siapa sih yang bikin sistem kok ancur banget," tulisnya di akun media sosialnya. 

"Pantes nasib komposer ancur."

Tunggu dulu. Bukankah Dhani seharusnya senang lagunya dihargai? Kenapa dia malah marah?

Di sinilah letak kesalahpahaman banyak orang. Ahmad Dhani memang pejuang royalti sejati, tapi sasarannya jelas. Para pemain besar. Ia selama ini getol menagih haknya dari penyanyi-penyanyi papan atas yang menggelar konser megah dengan tiket jutaan rupiah, atau dari stasiun TV yang meraup untung dari iklan. Baginya, di situlah "ikan pausnya" berenang.

Sementara untuk "ikan teri" seperti musisi kafe, pengamen, atau organ tunggal di hajatan, Dhani justru punya pandangan berbeda. Ia pernah berkata, 

"Justru saya malah lebih senang kalau lagu Dewa dinyanyikan di kafe."

Bagi Dhani, hal-hal seperti ini adalah promosi gratis. Orang jadi makin kenal lagunya, makin cinta karyanya. Kemarahannya bukan pada ide royalti itu sendiri, melainkan pada sistem yang ia anggap salah sasaran. Ibarat punya meriam canggih, tapi malah dipakai untuk menembak nyamuk di kamar tidur, sementara gajah di pelupuk mata dibiarkan lewat begitu saja.

Jadi, kemarahan Dhani adalah sinyal pertama. Ada yang tidak beres dengan cara isu ini disampaikan ke publik.

Membedah "Monster" Bernama Royalti dengan Bahasa Warung Kopi

Sebelum lanjut, mari kita samakan persepsi dulu. Apa sih sebenarnya royalti itu? Kenapa ada lembaga seperti WAMI (Wahana Musik Indonesia)?

Anggap saja sebuah lagu itu adalah rumah kontrakan.

  • Pencipta Lagu (Komposer). Dia adalah pemilik rumahnya. Ahmad Dhani, misalnya, adalah pemilik rumah bernama "Kangen".

  • Penyanyi/Event Organizer. Mereka adalah penyewa rumah. Mereka "meminjam" rumah itu untuk suatu keperluan.

  • Royalti adalah uang sewa yang harus dibayarkan si penyewa kepada si pemilik rumah.

  • LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) seperti WAMI. Mereka adalah agen properti atau manajer kos-kosan. Tugas mereka adalah berkeliling menagih uang sewa dari para penyewa, lalu menyerahkannya kepada para pemilik rumah. Mustahil bagi seorang Ahmad Dhani untuk mengetuk pintu setiap kafe di Indonesia, kan? Makanya butuh agen.

Sistem ini sebenarnya mulia. Tujuannya agar para pencipta lagu bisa terus hidup dan berkarya dari "uang sewa" lagu mereka. Masalahnya, tidak semua "penggunaan rumah" itu harus bayar sewa.

Inti Persoalan, Komersial vs Non-Komersial!

Inilah jawaban dari semua kepanikan Anda. Kunci untuk memahami kapan Anda harus bayar dan kapan tidak, hanya ada pada dua kata sakti. KOMERSIAL dan NON-KOMERSIAL.

Untungnya, kita tidak perlu menebak-nebak. Prof. Ahmad M. Ramli, seorang Guru Besar Hukum yang ikut merancang Undang-Undang Hak Cipta, sudah memberikan penjelasan yang sangat jernih.

Kapan Anda TIDAK PERLU BAYAR Royalti (Alias Aman Sentosa)?

Ini masuk kategori NON-KOMERSIAL. Artinya, Anda menggunakan lagu itu untuk kepentingan pribadi, lingkup kecil, dan tidak bertujuan mencari keuntungan finansial dari pemutaran lagu tersebut.

Contoh konkretnya.

  • Acara Hajatan Pernikahan atau Sunatan di Rumah/Gedung. Selama ini acara keluarga, bukan konser tiket berbayar, Anda aman. Organ tunggal yang dibayar 5 juta untuk menghibur tamu? Itu dianggap bagian dari acara keluarga, bukan bisnis pertunjukan musik.

  • Acara Ulang Tahun. Memutar lagu "Selamat Ulang Tahun" dari Jamrud atau lagu-lagu lain di pesta ulang tahun anak Anda? Silakan saja, gratis!

  • Menyanyi di Kamar Mandi. Tentu saja ini gratis, sekencang apa pun suara Anda.

  • Memutar Lagu di Mobil untuk Didengar Sendiri. Ini adalah penggunaan pribadi.

Prof. Ramli bahkan menegaskan, kegiatan-kegiatan ini justru dianggap media promosi gratis bagi pencipta lagu. Anda sedang membantu mereka!

Kapan Anda WAJIB BAYAR Royalti?

Ini masuk kategori KOMERSIAL. Artinya, Anda menggunakan lagu itu sebagai bagian dari kegiatan bisnis untuk mendatangkan keuntungan.

Contoh konkretnya.

  • Konser Musik dengan Tiket Berbayar. Ini paling jelas. Penyelenggara wajib bayar royalti.

  • Kafe, Restoran, atau Hotel. Musik di tempat-tempat ini diputar untuk menciptakan suasana nyaman agar pengunjung betah dan membeli lebih banyak. Ini tujuan komersial.

  • Acara dengan Sponsor Besar. Misalnya, sebuah merek rokok atau provider seluler membuat acara "Pesta Rakyat" gratis untuk umum, tapi mereka membayar band untuk tampil. Nah, si penyelenggara (merek tersebut) yang wajib membayar royalti.

  • Bioskop, Karaoke, Stasiun Radio & TV. Ini adalah bisnis hiburan yang inti produknya sangat bergantung pada karya cipta (film dan musik). Mereka adalah pembayar royalti kelas kakap.

Sederhana, kan? Selama hajatan Anda bukan konser berbayar yang disponsori perusahaan raksasa, Anda dan pasangan bisa bernapas lega.

Jangan Panik, Pahami Aturannya

Jadi, kenapa isu ini bisa seheboh kemarin? Kemungkinan besar karena kombinasi tiga hal. Sosialisasi dari lembaga terkait yang kurang gamblang, judul berita yang "menggigit" demi klik, dan pemahaman masyarakat yang masih abu-abu.

Kemarahan Ahmad Dhani menjadi katup pelepas yang penting. Ia menyadarkan kita bahwa semangat penegakan hak cipta harus diimbangi dengan akal sehat dan pemahaman konteks. Mengejar royalti dari sebuah hajatan keluarga itu ibarat mencoba memeras jus dari sebutir pasir. Bukan hanya tidak ada hasilnya, tapi juga bisa merusak ekosistem musik itu sendiri.

Pada akhirnya, menghormati karya seorang seniman itu wajib. Para komposer berhak hidup sejahtera dari keringat kreativitas mereka. Tapi, menghormati bukan berarti hidup dalam ketakutan. Menghormati berarti memahami aturan mainnya.

Jadi, untuk Anda yang sedang merencanakan hari bahagia, silakan lanjutkan menyusun playlist impian Anda. Putar lagu-lagu cinta itu dengan khidmat. Biarkan musik menjadi pengiring momen sakral Anda tanpa dihantui rasa was-was. Sebab, cinta dan kebahagiaan Anda di hari itu adalah sesuatu yang non-komersial dan tak ternilai harganya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun