"Justru saya malah lebih senang kalau lagu Dewa dinyanyikan di kafe."
Bagi Dhani, hal-hal seperti ini adalah promosi gratis. Orang jadi makin kenal lagunya, makin cinta karyanya. Kemarahannya bukan pada ide royalti itu sendiri, melainkan pada sistem yang ia anggap salah sasaran. Ibarat punya meriam canggih, tapi malah dipakai untuk menembak nyamuk di kamar tidur, sementara gajah di pelupuk mata dibiarkan lewat begitu saja.
Jadi, kemarahan Dhani adalah sinyal pertama. Ada yang tidak beres dengan cara isu ini disampaikan ke publik.
Membedah "Monster" Bernama Royalti dengan Bahasa Warung Kopi
Sebelum lanjut, mari kita samakan persepsi dulu. Apa sih sebenarnya royalti itu? Kenapa ada lembaga seperti WAMI (Wahana Musik Indonesia)?
Anggap saja sebuah lagu itu adalah rumah kontrakan.
Pencipta Lagu (Komposer). Dia adalah pemilik rumahnya. Ahmad Dhani, misalnya, adalah pemilik rumah bernama "Kangen".
Penyanyi/Event Organizer. Mereka adalah penyewa rumah. Mereka "meminjam" rumah itu untuk suatu keperluan.
Royalti adalah uang sewa yang harus dibayarkan si penyewa kepada si pemilik rumah.
LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) seperti WAMI. Mereka adalah agen properti atau manajer kos-kosan. Tugas mereka adalah berkeliling menagih uang sewa dari para penyewa, lalu menyerahkannya kepada para pemilik rumah. Mustahil bagi seorang Ahmad Dhani untuk mengetuk pintu setiap kafe di Indonesia, kan? Makanya butuh agen.
Sistem ini sebenarnya mulia. Tujuannya agar para pencipta lagu bisa terus hidup dan berkarya dari "uang sewa" lagu mereka. Masalahnya, tidak semua "penggunaan rumah" itu harus bayar sewa.
Inti Persoalan, Komersial vs Non-Komersial!
Inilah jawaban dari semua kepanikan Anda. Kunci untuk memahami kapan Anda harus bayar dan kapan tidak, hanya ada pada dua kata sakti. KOMERSIAL dan NON-KOMERSIAL.