Mohon tunggu...
Tivana Fachrian
Tivana Fachrian Mohon Tunggu... Seniman - Coupleblogger

We wilt have poetry in our life. And adventure. And love. Love above all!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Jatuh Cinta Seperti Saya

16 Januari 2022   03:20 Diperbarui: 16 Januari 2022   05:45 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Sumber: P. Syamsa

---1936.

"Da .... " panggil Siti Aisah dengan suaranya nun setenang Batang Anai dalam musim kemarau terik.
" ... sadarkah perempuan yang hendak Uda nikahi ini sejatinya hanya mayat?" sambungnya sembari menunjuk dirinya sendiri dengan mata sembab.
"Perempuan ini sudah habis, Da. Rasa-rasanya pula tujuan hidupnya kini hanya menanti kematian raga. Tidak ada alasan hidup, tidak ada gairah. Begitulah, Da. Raganya saja yang belum mati. Lalu Uda melamar Aisah? Untuk apa?" sedemikian parau.


"Saya tahu. Saya mengerti Ai, bahwa Ai masih berduka dari kepergian lelaki itu. Tetapi saya yakin Ai perempuan baik, datang pun dari keluarga baik-baik walaupun bukan asli Minang. Maka atas izin Allah saya berniat menikahi Ai," jawab Sjaifoel Alam.
"Hati Uda orang baik ... dan shalih pula. Uda tidak pernah berdosa pada saya, tetapi saya telah sakiti hati Uda dengan diri saya yang seperti ini. Uda melamar saya dengan kekayaan, kepandaian, kebangsawanan, juga dengan ketulusan cinta yang amat layak. Sementara saya tiada apa pun untuk membalas Uda. Beri hati pun tidak, Da." Aisah tersedu hingga seluruh parasnya merah.


"Tidak, Ai. Tidaklah sedemikian buruk. Saya tahu. Jangan terus mengutuk diri seperti ini." Alam melerai kecamuk perasaan Aisah. Sedangkan perempuan itu tertunduk menutup mukanya dengan sapu tangan, masih selalu pantang matanya memandang. Mata itu tidak lagi mampu melihat lelaki mana pun dengan benar, semenjak pergi kekasihnya.
"Maaf, Ai. Bila boleh Uda tahu ... bolehkah Ai ceritakan tentang lelaki Batavia itu. Bagaimana pula lelaki itu sampai hatinya mencampakkan perempuan jelita seperti Ai?" Alam menekikan sebuah pertanyaan dari bibirnya yang sabar.

Aisah terkunci. Tubuhnya diam mematung mendengar tanya ini. Sebuah lontaran kalimat yang memukul kembali genderang lamanya. Sesaat ia tidak lagi merasakan napasnya---terlalu sesak, terlalu pilu---hingga kemudian dengan kedua mata nian terbuka, untuk kali yang pertama, pada akhirnya ia dapat menghadap pada wajah rupawan sang tunangan, lantas mulai bercerita. Sadarlah Sjaifoel Alam, bagaimana jiwa yang mati itu dapat terpanggil kembali ruhnya hanya dengan sebuah saja kalimat tanya.


---1932.

Saat itu, Siti Aisah, gadis Padang-Jawa berusia dua puluh satu tahun. Gadis itu bermandi keringat setelah mabuk kapal laut; menyeberang dari Padang ke tanah Jakarta---yang dulu dikenal namanya Batavia.


"Ai, duduklah dulu dengan Bapak di sini. Saya beli air sebentar!" saudara sepupunya, Sidik, berlari kecil.
Setelah Sidik mendapat minuman, diberikannya kepada Aisah.
"Pak Lik, setelah ini kita naik apa lagi supaya sampai di rumah?" tanya Aisah.
"Kita perlu naik kereta, sebentar saja, dua puluh menit barangkali." terang Pak Lik.

Di atas kereta, tubuh Aisah semakin lemas dan juga dingin. Mengeluh ia kepada pamannya.
"Pak Lik, saya lelah sekali .... " hal ini tentu membuat Pak Lik dan Sidik menjadi cemas.
"Sabarlah dulu Aisah, sepuluh menit lagi kita sampai. Nanti biar Bu Lik-mu pijat di rumah," kata Pak Lik.
Aisah mengangguk. Tetapi tidak lama kemudian ia terjatuh pingsan dalam kereta yang sedang melaju itu.

Seketika gerbong menjadi gaduh. Pak Lik dan Sidik begitu khawatir. Beruntunglah Aisah segera sadar, lalu selesai perempuan itu bangun sampai mereka pada tujuan. Rumah Pak Lik berada tidak jauh dari pemberhentian kereta. Perlahan-lahan Pak Lik dan Sidik memapah Aisah, dengan susah payah sebab tangan mereka pun musti membawa tiga buah koper besar. Lalu datang seorang pemuda menghampiri.


"Mengapa nona ini, Sidik? Sakit kah?" tanya pemuda itu.
"Sakit perjalanan. Ia mabuk laut. Tadi pun pingsan di atas kereta," jawab Sidik.
"Mari saya bantu, saya bawakan koper-kopernya!" Sidik dan Pak Lik memberikan dua buah koper kepada pemuda baik hati itu.

Beberapa hari kemudian, setelah Aisah dapat bangun, ia mulai membantu bibinya memotong kain. Seperti niat semula ikut dengan pamannya ke Batavia adalah sebab ia begitu jenuh berada di Padang. Ia meminta supaya dapat bekerja dengan paman dan bibinya, menjahit serta menjual pakaian murah di pasar.

Ketika tengah memotong kain, terdengar suara salam serta ketukan pintu dari arah depan.
"Assalamualaikum!" Aisah pun pergi ke luar.
"Waalaikumussalam .... " rupanya pemuda yang menolong ia beserta paman dan sepupunya membawa koper tempo hari.
"Ah, sudah sembuh, Nona? Ini, saya ada bawakan pesanan benang Bu Lik," sembari menyerahkan sekantung benang jahit berbagai warna.
"O, Abang ini ... Abang yang menolong saya membawa koper?" Aisah tersenyum.


"Hahaha, masih ingat rupanya. Saya pikir Nona terlalu mabuk laut sampai tidak sempat memandang wajah saya. Janganlah panggil Abang, saya setua itukah? Panggil saja dengan nama saya, Dahlan." Mengulurkan tangan.
"Jangan pulalah panggil saya Nona, seperti juragan saja. Saya Aisah, keponakan Pak Lik datang dari Padang."

Begitulah singkat cerita bagaimana asmara bermula; dari tabur sampai debur, jauh di dalam sanubari keduanya. Tanpa perlu memakan masa maka Aisah dengan Dahlan mulai bertukar surat, bertukar sajak, dan berutas kata mesra.

Bertuahlah saya rasa diri saya saat itu, Uda. Biar mabuk laut sampai pingsan sekali pun, tetapi mujur nasib. Saya berjumpa dengan lelaki berbudi yang menolong saya membawa barang-barang. Dengan singkat saja saya telah tercuri. Tercuri! Bukan barang-barang saya tetapi cinta saya.

Setelah berbulan-bulan menjalin asmara dalam kertas tinta berwewangian, timbullah kehendak Dahlan memperkenalkan perempuan yang amat sangat disayanginya itu kepada kedua orangtuanya.
"Nanti, bila Ema Abah saya berikan restu, saya akan datang melamar kamu ke Kota Padang sana. Ya?" riang wajah Dahlan.

Senja nun menjingga sewaras jiwa mereka. Kemudian malam datang, terseringai selalu Aisah. Ia berpikir-pikir apakah jawaban dari orangtua Dahlan.

Terus terang, Da. Yang ada di dalam pikiranku saat itu hanyalah bayangan yang baik-baik. Saya teramat naif dan lugu. Keesokan hari, Dahlan menghampiri saya. Datang ia dengan wajah bersusah hati. Ya, sangkaan saya salah. Hari itu Dahlan menerangkan kenyataan, bila kedua orangtuanya telah menolak saya bahkan sebelum bersemuka. Hanya sebab saya adalah keturunan orang Jawa. Tidak hanya itu, mereka pula menginjak dan menghina suku saya. Merekalah orang Sunda, bagi mereka pantang menikahi orang Jawa, bahkan yang hanya separuh Jawa saja semacam saya.

"Lalu, apa yang mesti kita perbuat?" tanya Aisah.
"Jangan tinggalkan saya, Aisah. Kita tetap seperti ini. Beri saya waktu membujuki mereka!" Dahlan menggenggam tangan Aisah.
"Bila mereka tetap tidak setuju?" kembali tanyanya, ragu.
"Saya pasti berusaha. Berjanjilah kepada saya, kamu hanya akan tetap menanti untuk saya dan menjadi milik saya. Berjanjilah! Saya cinta kamu!" Dahlan memohon dan mengemis.


"Saya pun cinta kamu, Dahlan. Mana pernah tidak?! Tapi tetap saya merasa takut. Dengan jaminan apa kamu meminta saya menunggu?" Aisah menatap Dahlan.
"Bila dalam waktu dua tahun saya tidak mampu menikahimu, maka tinggalkanlah saya." Dahlan berjanji.


"Bukan. Bukan itu. Jawaban yang saya mau adalah cara seperti apa yang kamu yakini akan mampu meluluhkan hati mereka? Saya perlu kepastian bahwa saya tidak akan berpisah dari kamu untuk selamanya. Itu saja. Jangan pinta saya pergi, saya mau menunggumu baik sepuluh kah dua puluh tahun lagi pun asal saya tahu saya akan dapatkan kamu. Beri saya keyakinan, Dahlan! Beri saya keyakinan!" tanpa mengatakan apa pun, Dahlan menjawab pertanyaan itu dengan peluk yang erat.

Lalu, seminggu setelahnya saya berpulang kampung ke Padang. Dahlan mengantar saya ke pelabuhan. Sehari sebelumnya, hati saya rasa senang sebab telah lama tidak berjumpa dengan kedua orangtua saya. Tapi ... entahlah ... kaki saya ragu-ragu ketika berjalan menuju kapal. Bukan sebab saya mabuk laut, akan tetapi mata saya sama sekali tidak ingin melepaskan pandangan dari wajah Dahlan. Saya takut, Da. Takut akan kehilangan dia. Saya cemas sebab dia belum menjawab pertanyaan saya dengan kata-kata. Ia hanya menjawabnya dengan sebuah pelukan. (Tersenyum pahit), sebuah pelukan yang rupanya bermakna pelukan perpisahan.

Aisah berencana akan kembali ke Batavia setelah sebulan. Dan jatuh cinta telah mengubahnya menjadi teramat rentan. Padang tidak lagi terasa seperti dulu. Sama sekali rumahnya pun tidak terasa merumahinya seperti kala dulu. Pekerjaan barunya kini melamun menantikan surat balasan dari Dahlan.

Datanglah sepucuk, Uda. Tiga minggu menanti. Tetapi bukan suatu surat balasan, atau syair-syair manisnya yang saya amat rindukan ... melainkan tulisan tangan seorang perempuan yang mengaku sebagai istrinya. Dia dinikahkan paksa oleh kedua orangtuanya. Dinikahkan dengan seorang gadis Sunda; yang sesuku, sebangsa, dan sederajat.

Lebur mendebu, pada saat itulah seluruh hajat hidup Aisah terporak-poranda, regas, meregang nyawa.

---1936.


"Apa yang dapat saya lakukan untuk Ai?" tanya Alam.
"Masih Uda mau melakukan sesuatu untuk Ai?" tentulah gadis itu bertambah hairan kepada kuatnya hati Alam.

"Baiklah. Satu saja, Da. Bila menikahi saya ... Uda jangan jatuh cinta seperti saya." Kembali air mata membasahi pipinya.
"Mengapa?" Alam mengernyitkan dahinya.

"Jangan jadi seperti saya, sebab sekali saya pergi, Uda hanya akan menjadi mayat yang menanti kematian raga. Saya ... saya hanya tidak rela apabila hati uda yang mulia suatu hari akan mati di tangan saya. Saya tidak rela bila keshalihan Uda dirusakkan oleh kegilaan Uda kepada saya. Saya tidak rela surga Tuhan kehilangan manusia seperti Uda ... oleh sebab saya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun