Mohon tunggu...
Tivana Fachrian
Tivana Fachrian Mohon Tunggu... Seniman - Coupleblogger

We wilt have poetry in our life. And adventure. And love. Love above all!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Jatuh Cinta Seperti Saya

16 Januari 2022   03:20 Diperbarui: 16 Januari 2022   05:45 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Sumber: P. Syamsa


"Mengapa nona ini, Sidik? Sakit kah?" tanya pemuda itu.
"Sakit perjalanan. Ia mabuk laut. Tadi pun pingsan di atas kereta," jawab Sidik.
"Mari saya bantu, saya bawakan koper-kopernya!" Sidik dan Pak Lik memberikan dua buah koper kepada pemuda baik hati itu.

Beberapa hari kemudian, setelah Aisah dapat bangun, ia mulai membantu bibinya memotong kain. Seperti niat semula ikut dengan pamannya ke Batavia adalah sebab ia begitu jenuh berada di Padang. Ia meminta supaya dapat bekerja dengan paman dan bibinya, menjahit serta menjual pakaian murah di pasar.

Ketika tengah memotong kain, terdengar suara salam serta ketukan pintu dari arah depan.
"Assalamualaikum!" Aisah pun pergi ke luar.
"Waalaikumussalam .... " rupanya pemuda yang menolong ia beserta paman dan sepupunya membawa koper tempo hari.
"Ah, sudah sembuh, Nona? Ini, saya ada bawakan pesanan benang Bu Lik," sembari menyerahkan sekantung benang jahit berbagai warna.
"O, Abang ini ... Abang yang menolong saya membawa koper?" Aisah tersenyum.


"Hahaha, masih ingat rupanya. Saya pikir Nona terlalu mabuk laut sampai tidak sempat memandang wajah saya. Janganlah panggil Abang, saya setua itukah? Panggil saja dengan nama saya, Dahlan." Mengulurkan tangan.
"Jangan pulalah panggil saya Nona, seperti juragan saja. Saya Aisah, keponakan Pak Lik datang dari Padang."

Begitulah singkat cerita bagaimana asmara bermula; dari tabur sampai debur, jauh di dalam sanubari keduanya. Tanpa perlu memakan masa maka Aisah dengan Dahlan mulai bertukar surat, bertukar sajak, dan berutas kata mesra.

Bertuahlah saya rasa diri saya saat itu, Uda. Biar mabuk laut sampai pingsan sekali pun, tetapi mujur nasib. Saya berjumpa dengan lelaki berbudi yang menolong saya membawa barang-barang. Dengan singkat saja saya telah tercuri. Tercuri! Bukan barang-barang saya tetapi cinta saya.

Setelah berbulan-bulan menjalin asmara dalam kertas tinta berwewangian, timbullah kehendak Dahlan memperkenalkan perempuan yang amat sangat disayanginya itu kepada kedua orangtuanya.
"Nanti, bila Ema Abah saya berikan restu, saya akan datang melamar kamu ke Kota Padang sana. Ya?" riang wajah Dahlan.

Senja nun menjingga sewaras jiwa mereka. Kemudian malam datang, terseringai selalu Aisah. Ia berpikir-pikir apakah jawaban dari orangtua Dahlan.

Terus terang, Da. Yang ada di dalam pikiranku saat itu hanyalah bayangan yang baik-baik. Saya teramat naif dan lugu. Keesokan hari, Dahlan menghampiri saya. Datang ia dengan wajah bersusah hati. Ya, sangkaan saya salah. Hari itu Dahlan menerangkan kenyataan, bila kedua orangtuanya telah menolak saya bahkan sebelum bersemuka. Hanya sebab saya adalah keturunan orang Jawa. Tidak hanya itu, mereka pula menginjak dan menghina suku saya. Merekalah orang Sunda, bagi mereka pantang menikahi orang Jawa, bahkan yang hanya separuh Jawa saja semacam saya.

"Lalu, apa yang mesti kita perbuat?" tanya Aisah.
"Jangan tinggalkan saya, Aisah. Kita tetap seperti ini. Beri saya waktu membujuki mereka!" Dahlan menggenggam tangan Aisah.
"Bila mereka tetap tidak setuju?" kembali tanyanya, ragu.
"Saya pasti berusaha. Berjanjilah kepada saya, kamu hanya akan tetap menanti untuk saya dan menjadi milik saya. Berjanjilah! Saya cinta kamu!" Dahlan memohon dan mengemis.


"Saya pun cinta kamu, Dahlan. Mana pernah tidak?! Tapi tetap saya merasa takut. Dengan jaminan apa kamu meminta saya menunggu?" Aisah menatap Dahlan.
"Bila dalam waktu dua tahun saya tidak mampu menikahimu, maka tinggalkanlah saya." Dahlan berjanji.


"Bukan. Bukan itu. Jawaban yang saya mau adalah cara seperti apa yang kamu yakini akan mampu meluluhkan hati mereka? Saya perlu kepastian bahwa saya tidak akan berpisah dari kamu untuk selamanya. Itu saja. Jangan pinta saya pergi, saya mau menunggumu baik sepuluh kah dua puluh tahun lagi pun asal saya tahu saya akan dapatkan kamu. Beri saya keyakinan, Dahlan! Beri saya keyakinan!" tanpa mengatakan apa pun, Dahlan menjawab pertanyaan itu dengan peluk yang erat.

Lalu, seminggu setelahnya saya berpulang kampung ke Padang. Dahlan mengantar saya ke pelabuhan. Sehari sebelumnya, hati saya rasa senang sebab telah lama tidak berjumpa dengan kedua orangtua saya. Tapi ... entahlah ... kaki saya ragu-ragu ketika berjalan menuju kapal. Bukan sebab saya mabuk laut, akan tetapi mata saya sama sekali tidak ingin melepaskan pandangan dari wajah Dahlan. Saya takut, Da. Takut akan kehilangan dia. Saya cemas sebab dia belum menjawab pertanyaan saya dengan kata-kata. Ia hanya menjawabnya dengan sebuah pelukan. (Tersenyum pahit), sebuah pelukan yang rupanya bermakna pelukan perpisahan.

Aisah berencana akan kembali ke Batavia setelah sebulan. Dan jatuh cinta telah mengubahnya menjadi teramat rentan. Padang tidak lagi terasa seperti dulu. Sama sekali rumahnya pun tidak terasa merumahinya seperti kala dulu. Pekerjaan barunya kini melamun menantikan surat balasan dari Dahlan.

Datanglah sepucuk, Uda. Tiga minggu menanti. Tetapi bukan suatu surat balasan, atau syair-syair manisnya yang saya amat rindukan ... melainkan tulisan tangan seorang perempuan yang mengaku sebagai istrinya. Dia dinikahkan paksa oleh kedua orangtuanya. Dinikahkan dengan seorang gadis Sunda; yang sesuku, sebangsa, dan sederajat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun