Yang terhormat, Mas Isal selaku penemu pola pikir dampak perubahan kinerja otak terhadap perilaku konsumtif masyarakat.
"untuk seseorang yang telah membuat kekacauan disebuah negara. Kamu beruntung, mendapatkan tiket undangan menuju pesta piyama kelinci. Tempat paling indah untuk merayakan detik, menit, tahun, dekade perhitungan mundur keruntuhan dunia."
Surat yang tertulis singkat dan padat. Isal menyayangi surat itu, kendati tak tahu harus kemana. Surat itu terlalu singkat dan tidak bisa dimengerti olehnya. Kadang ia berpikir bahwa itu adalah sebuah candaan dari tetangganya. Sandy.
Namun kali ini ia tampak sangat serius akan surat itu. Karena, ia baru saja melihat cap yang begitu rapi dan merah merona. Ia mencium aromanya seperti warna merah darah. Tidak mungkin bagi sandy untuk menggoreskan tangannya hanya untuk lelucon semata.
Setelah sekian lama ia mencerca dunia, Isal tak pernah membayangkan adanya apresiasi akan itu. Dirinya yang selalu merasa kurang akan upah yang ia dapatkan. Hanya untuk membeli kebutuhan dirinya sendiri. Berada diujung jurang dunia, dihimpit oleh orang-orang yang merasa lebih tinggi dari dirinya padahal sama saja. Hanya melihat dari sudut pandang sempit, dan perihal kuantitas yang tak bernilai.
"bagai lalat yang berterbangan pada langit-langit tanpa tahu angkasa yang lebih luas."
Senyuman paling serius seseorang yang menyempitkan sudut pandangnya. Ketenaran yang terkekang oleh keberadaan fiksi, bahkan fantasi yang ia buat untuk menjadi penenang bagi dirinya yang sudah tahu akan "pernak-pernik kabupaten megah" disandingkan dengan "pencapaian di kota kecil."
Dalam kebingungan akan surat yang ia terima, lelah mencari jawaban melalui sisi-sisi paling sempit kertas yang terlanjut kusut, ia berdiam sejenak.Â
"Bagaimana seseorang yang mengirim undangan ini tahu akan tempat tinggalnya yang kumuh?"
Ia tak tahu harus mencari jawaban itu kemana lagi, hingga larut malam. Kegundahan ini membunuhnya. Jam tengah malam yang sunyi ini meraup banyak sekali kekecewaan akan keseriusannya. Dengan rasa kesal ia pergi menuju minimarket dekat rumah membeli kopi. Mungkin sekelas kopi dapat membawa angin segar untuk kewarasannya.
Diluar. Kota itu sangat sepi tak seperti biasanya sebelum ia mulai menyebarkan siaran ilegal tentang kebusukan manusia.
"Pada dasarnya manusia masih bisa mendapatkan sebubah apresiasi dari masyarakat sekitar. Namun setiap kemungkinan yang dapat dibuat ternyata membuahkan hasil yang tidak setimpal. Kadang aku merasa heran ketika melihat seonggok manusia yang menyaksikan betapa berkecukupan mereka masih merasa kurang akan semua hal. Ia memang sedari awal bukanlah manusia, melainkan binatang ternak yang terus membuat perut mereka bengkak, hingga pecah terburai menjadi bagian yang tak dapat dijelaskan lagi."
Sesampainya di minimarket, pintu depan dengan lampu kedap-kedip tak terawat, muncul sosok yang memakai jubah hitam dan topeng domba berdiri tepat didepan pintu.
"Para pemboikot, kenapa mereka secara terang-terangan menampakkan diri mereka ditempat terbuka seperti ini?" gumam Isal.
Tak cukup jelas matanya yang terbelalak menatap kedepan, badan yang tetap berjalan menerpa semua pikiran konyol di kepalanya. Menuju ke pintu masuk. Sesampai didepan pintu tangan sosok itu menghalang badannya untuk masuk kedalam.
Dengan pelan ia mulai membisikkan satu kalimat yang membuatnya sumringah. "Kamu sudah menerima surat itu?" bisik kecilnya.
"Iya" jawab isal tanpa ragu menjawab.
"Ikuti saya"
Isal pun mengikutinya. Saat masuk kedalam pintu minimarket, bohlam yang sedari tadi kelap-kelip kini mengeluarkan cahaya putih yang menyilaukan mata. Sangat silau hingga tak dapat ditahan oleh mata.
Disaat matanya masih tertutup, telinganya mulai mendengar alunan kecil dari musik favoritnya "First Love/Late Spring". Saat itu, ia benar-benar masuk kedalam suatu tempat pesta piyama yang ia dambakan.
Sebuah taman kecil, yang dikelilingi oleh orang-orang yang memakai piyama dengan topeng kelincinya. Indah sekali.
Tak menghiraukan tangannya yang terikat kuat dan sebuah tongkat untuk menopang badannya yang penuh bercak. Ia tertawa lepas, hingga pita suaranya hilang. Digotong hingga menuju ke ribuan kembang api, dan dibiarkan berdiri disana.
"Sungguh alunan indah untuk pengantar tidur yang paling meriah"
Seketika kembang api dinyalakan. Semuanya menyorak keberadaannya, dan menjadikan mereka peringatan untuk menata ulang sebuah ketidakadilan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI