"Pada dasarnya manusia masih bisa mendapatkan sebubah apresiasi dari masyarakat sekitar. Namun setiap kemungkinan yang dapat dibuat ternyata membuahkan hasil yang tidak setimpal. Kadang aku merasa heran ketika melihat seonggok manusia yang menyaksikan betapa berkecukupan mereka masih merasa kurang akan semua hal. Ia memang sedari awal bukanlah manusia, melainkan binatang ternak yang terus membuat perut mereka bengkak, hingga pecah terburai menjadi bagian yang tak dapat dijelaskan lagi."
Sesampainya di minimarket, pintu depan dengan lampu kedap-kedip tak terawat, muncul sosok yang memakai jubah hitam dan topeng domba berdiri tepat didepan pintu.
"Para pemboikot, kenapa mereka secara terang-terangan menampakkan diri mereka ditempat terbuka seperti ini?" gumam Isal.
Tak cukup jelas matanya yang terbelalak menatap kedepan, badan yang tetap berjalan menerpa semua pikiran konyol di kepalanya. Menuju ke pintu masuk. Sesampai didepan pintu tangan sosok itu menghalang badannya untuk masuk kedalam.
Dengan pelan ia mulai membisikkan satu kalimat yang membuatnya sumringah. "Kamu sudah menerima surat itu?" bisik kecilnya.
"Iya" jawab isal tanpa ragu menjawab.
"Ikuti saya"
Isal pun mengikutinya. Saat masuk kedalam pintu minimarket, bohlam yang sedari tadi kelap-kelip kini mengeluarkan cahaya putih yang menyilaukan mata. Sangat silau hingga tak dapat ditahan oleh mata.
Disaat matanya masih tertutup, telinganya mulai mendengar alunan kecil dari musik favoritnya "First Love/Late Spring". Saat itu, ia benar-benar masuk kedalam suatu tempat pesta piyama yang ia dambakan.
Sebuah taman kecil, yang dikelilingi oleh orang-orang yang memakai piyama dengan topeng kelincinya. Indah sekali.
Tak menghiraukan tangannya yang terikat kuat dan sebuah tongkat untuk menopang badannya yang penuh bercak. Ia tertawa lepas, hingga pita suaranya hilang. Digotong hingga menuju ke ribuan kembang api, dan dibiarkan berdiri disana.