Awan mendung menyapa pagi yang sibuk, melanjutkan ritme menapak kaki beriringan. Diantara ratusan orang yang lalu lalang menopang dagu, ada seorang pria yang menghadap kebawah mencari bayangannya yang hilang menyatu di trotoar. Ia tak pernah menghadapi hal seperti ini sebelumnya, atau bahkan mungkin ia yang pertama kali menyadarinya. Orang-orang yang lalu lalang tak memperhatikan bayangan mereka yang telah menyatu satu sama lain.
Dia adalah gelandangan yang tak mempunyai apa-apa. Disuatu malam saat berjalan ditengah lampu kota yang sunyi, ia melihat bayangannya yang selalu mengikuti kemanapun ia berada. Tak peduli benar atau salah jalan yang ia pilih, bayangan itu tetap mengikutinya.
Kadang ia heran, kenapa bayangannya tak pernah meninggalkannya? Tidak seperti istrinya yang sudah mencampakkannya dan membawa anak mereka tanpa persetujuan kedua belah pihak.
Malam itu ia tampak sangat bimbang akan hidupnya yang malang. Bertanya-tanya akan arah hidup yang makin berantakan, dan bagaimana ia bisa mendapatkan kehidupannya. Kehidupan yang baru, tanpa trauma masa lalu.
Perkataannya seakan masuk penuh dengan bayangannya. Walaupun ia tak pernah menjawab, hanya itulah yang ia punya. Merasa setara, berbincang lama, dan tumbuh bersama.
"Bayanganku adalah seorang pendengar yang baik, ia dengan tetap tenang mendengarku tak bergeming. Terkadang aku ingin ia memberiku saran, tapi aku tahu ini yang terbaik untukku saat ini" dalam benak pria itu.
Setelah ia bercerita, ditengah angin yang berhembus kencang, ia berbaring hangat di trotoar jalan tempatnya tidur. Gelandangan itu tidur memeluk bayangannya.
Namun ketenangannya hilang dipagi hari, ia tak menemukan bayangannya. Ia telah mencarinya kesana kemari hingga lelah.
"Kenapa kau meninggalkanku sama seperti mantan istri dan anakku? Apakah aku memang tak pantas untuk memiliki siapapun selain diriku?"
Pria itu berteriak dengan sangat keras hingga semua orang mulai memperhatikannya. Ditengah-tengah keheningan, ada seorang pria tua memakai jas kulit kualitas tinggi menghampirinya.