Abstrak
Artikel ini membahas secara mendalam perkembangan kekuasaan kehakiman di Indonesia dalam perspektif hukum tata negara. Berawal dari sistem peradilan kolonial yang diskriminatif, hingga terbentuknya struktur kekuasaan kehakiman modern pasca reformasi. Melalui pendekatan historis-normatif, tulisan ini menelaah dinamika lembaga peradilan, peran Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, serta Komisi Yudisial dalam menjaga prinsip negara hukum dan demokrasi konstitusional. Dengan menekankan pentingnya prinsip independensi kekuasaan kehakiman, artikel ini juga mengulas tantangan kontemporer yang dihadapi oleh institusi peradilan di Indonesia.
Kata Kunci: Kekuasaan Kehakiman, Konstitusi, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial
Pendahuluan
Kekuasaan kehakiman merupakan unsur fundamental dalam bangunan negara hukum demokratis. Dalam konteks sistem ketatanegaraan Indonesia, kekuasaan ini tidak hanya berperan menegakkan hukum dan keadilan, tetapi juga sebagai penyeimbang terhadap cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, yang artinya bebas dari intervensi kekuasaan manapun. Prinsip ini menjadi ruh utama dalam membangun kepercayaan publik terhadap sistem peradilan nasional.
Sejarah Perkembangan Kekuasaan Kehakiman
1. Era Kolonial (Hindia Belanda)
Pada masa Hindia Belanda, sistem peradilan bersifat dualistik dan diskriminatif. Peradilan dibagi antara peradilan Eropa dan peradilan pribumi. Raad van Justitie dan Hoogerechtshof menangani perkara untuk kalangan Eropa, sedangkan Landraad dan pengadilan adat ditujukan bagi masyarakat bumiputera. Tidak ada prinsip kesetaraan di hadapan hukum. Peradilan menjadi alat legitimasi kekuasaan kolonial.
2. Masa Awal Kemerdekaan (1945--1959)
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, UUD 1945 menyatakan keberadaan kekuasaan kehakiman melalui Pasal 24 dan Pasal 25. Namun, konstruksi normatifnya masih bersifat sangat global, tanpa pengaturan spesifik tentang struktur lembaga, kewenangan, serta prinsip kerja kekuasaan kehakiman. Meskipun Mahkamah Agung mulai terbentuk, independensinya belum kuat karena struktur pemerintahan masih menempatkan Presiden sebagai pemegang kekuasaan besar.
3. Masa Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru (1959--1998)
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengembalikan UUD 1945 sebagai konstitusi membawa dampak signifikan terhadap relasi antar lembaga negara. Presiden menjadi pusat kekuasaan, dan kekuasaan kehakiman semakin terpinggirkan. UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman menjadi tonggak awal pengaturan yang lebih sistematis, tetapi implementasinya lemah. Mahkamah Agung sering kali tunduk pada kepentingan eksekutif.
Peradilan tidak bebas, baik dalam pengambilan putusan maupun dalam pengelolaan organisasi dan anggaran. Hakim-hakim diangkat dan dikendalikan oleh kekuasaan politik. Dalam praktik, sistem yudisial berfungsi sebagai legitimasi keputusan politik pemerintah.
4. Masa Reformasi dan Era Amandemen UUD 1945 (1999--sekarang)
Reformasi 1998 menjadi titik balik penting bagi pembangunan kekuasaan kehakiman yang independen. Empat kali amandemen UUD 1945 antara 1999 hingga 2002 mengubah secara substansial struktur ketatanegaraan Indonesia. Kekuasaan kehakiman ditegaskan sebagai kekuasaan yang bebas dan merdeka, dengan pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial sebagai lembaga baru di dalam sistem peradilan nasional.
Amandemen ini tidak hanya bersifat formil, melainkan juga substansial: penguatan wewenang lembaga yudisial, peradilan satu atap, dan mekanisme checks and balances antar lembaga. Hal ini menjadi bentuk koreksi terhadap masa lalu yang dipenuhi campur tangan kekuasaan eksekutif terhadap lembaga yudikatif.