Siapa yang tak kenal lagu Guru Oemar Bakri? Lagu yang diciptakan Iwan Fals pada 1981 ini bukan sekadar lagu biasa, melainkan potret nyata kehidupan seorang guru yang telah mengabdi bertahun-tahun tetapi tetap hidup dalam keterbatasan. Dalam liriknya, Oemar Bakri digambarkan sebagai guru sederhana yang setiap hari mengayuh sepeda tua dengan gaji kecil, meskipun telah melahirkan banyak murid sukses. Lagu ini menjadi sindiran tajam terhadap ketidakadilan yang dialami para guru di Indonesia---sebuah kritik sosial yang sayangnya masih relevan hingga sekarang.
Lagu ini muncul di era Orde Baru, di mana pemerintah saat itu lebih fokus pada pembangunan ekonomi dan infrastruktur, sementara kesejahteraan tenaga pendidik belum menjadi prioritas utama. Situasi ini menimbulkan ironi: di satu sisi, pendidikan disebut sebagai pilar utama pembangunan bangsa, tetapi di sisi lain, para guru---tokoh utama dalam proses pendidikan---justru sering kali menghadapi kesulitan ekonomi. Hingga kini, kondisi ini masih terjadi, terutama bagi para guru honorer yang harus berjuang dengan gaji rendah dan status yang tak menentu.
Dalam konteks hukum tata negara, masalah ini berkaitan erat dengan Pasal 31 UUD 1945, yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan dan mengamanatkan pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kualitas pendidikan sangat bergantung pada kesejahteraan tenaga pendidik. Jika guru tidak mendapatkan perlakuan layak, bagaimana mungkin mereka bisa memberikan pendidikan terbaik bagi generasi bangsa?
Fakta di lapangan menunjukkan betapa sulitnya kehidupan banyak guru di Indonesia. Di Manggarai Timur, misalnya, gaji guru honorer berkisar antara Rp300 ribu hingga Rp1,2 juta per bulan---angka yang jauh dari standar hidup layak. Belum lagi persoalan status yang membedakan guru honorer, guru PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja), dan guru PNS. Ketimpangan kesejahteraan ini semakin memperburuk kondisi para guru honorer, yang tidak hanya bergaji rendah, tetapi juga tidak memiliki kepastian masa depan.
Kasus Hervina di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, menjadi salah satu bukti nyata bahwa kondisi ini bukan sekadar cerita di atas kertas. Hervina, seorang guru honorer, diberhentikan setelah mengunggah slip gajinya yang hanya Rp700 ribu per bulan ke media sosial. Kasus ini menggambarkan dilema yang dialami banyak guru honorer: mereka bekerja keras dengan gaji yang tidak mencukupi, tetapi ketika bersuara, mereka justru menghadapi ancaman kehilangan pekerjaan.
Lagu Guru Oemar Bakri tetap menjadi pengingat bahwa sistem pendidikan Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah besar dalam memastikan kesejahteraan guru. Pemerintah memang telah melakukan berbagai upaya, seperti merekrut guru PPPK untuk meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik honorer. Namun, kebijakan ini masih jauh dari kata cukup. Gaji minimum guru honorer harus ditingkatkan agar sesuai dengan standar hidup layak, pengangkatan guru honorer menjadi ASN atau PPPK perlu dipercepat, dan tata kelola pendidikan harus diperbaiki agar kesejahteraan guru lebih merata di seluruh daerah.
Lebih dari sekadar kritik sosial, lagu Guru Oemar Bakri adalah refleksi yang harus terus kita renungkan. Pendidikan yang berkualitas tidak hanya ditentukan oleh kurikulum atau fasilitas sekolah, tetapi juga oleh kesejahteraan para pengajarnya. Jika nasib guru terus diabaikan, bagaimana mungkin kita bisa berharap pada generasi emas di masa depan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI