Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Catatan untuk Tim Reformasi POLRI

7 Oktober 2025   06:05 Diperbarui: 7 Oktober 2025   06:10 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari Meta AI

Menjelang pelantikan Tim Reformasi POLRI, atmosfer perubahan mulai terasa di tubuh Kepolisian Republik Indonesia. Publik menaruh harapan besar pada momentum ini sebagai babak baru menuju institusi yang lebih profesional, transparan, dan berintegritas. Reformasi POLRI bukan sekadar wacana administratif, melainkan panggilan sejarah untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat yang sempat terkikis oleh berbagai kasus penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang.

Reformasi POLRI merupakan agenda besar yang terus mendesak di tengah perubahan sosial-politik Indonesia. Dua dekade lebih setelah reformasi 1998, institusi kepolisian masih menghadapi problem akut seperti korupsi, kekerasan berlebihan, politisasi, hingga krisis kepercayaan publik. Masyarakat menuntut polisi yang profesional, transparan, humanis, dan setia pada mandat utama: melindungi dan melayani rakyat.

Semua kasus besar yang belum diselesaikan akan terus menjadi "utang sejarah" POLRI dan berpotensi memperburuk krisis legitimasi. Salah satu kasus besar yang menarik perhatian publik adalah kematian misterius diplomat muda Arya Daru. Misteri kematian seorang diplomat muda dengan masa depan cerah, yang ditemukan meninggal secara misterius. Kasus tersebut hingga kini belum ada kejelasan apakah kasus ini terkait kriminal murni, atau konspirasi. Bentuk Tim Investigasi Independen dengan keterlibatan berbagai unsur profesional dan kelembagaan. Publikasikan perkembangan penyelidikan secara berkala agar tidak ada ruang spekulasi publik.

Inspirasi dari Teladan Soekanto dan Hoegeng

Sejarah kepolisian Indonesia menyimpan dua figur penting. Pertama, Jenderal R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo, Kapolri pertama, sejak awal menegaskan bahwa polisi bukanlah alat kekuasaan, melainkan alat negara yang mengabdi pada rakyat. Visi Soekanto menekankan bahwa legitimasi kepolisian bersumber dari kepercayaan publik.

Kedua, Jenderal Polisi (Purn.) Hoegeng Imam Santoso, dikenal sebagai teladan integritas dan kejujuran. Ia pernah menegaskan: "Kalau untuk kepentingan negara dan rakyat, saya berani. Tetapi kalau untuk kepentingan pribadi atau kelompok, saya tidak mau." Prinsip moral ini menegaskan bahwa kekuatan sejati polisi terletak pada kejujuran, bukan senjata atau jabatan.

Dua figur tersebut memberi pedoman arah bagaimana POLRI harus menempatkan dirinya sebagai lembaga sipil modern, jujur, dan berpihak pada kepentingan rakyat.

Krisis Kepercayaan Publik

Sejumlah survei dalam beberapa tahun terakhir memperlihatkan hasil yang fluktuatif. Pada awal 2024, survei Indikator Politik Indonesia mencatat kepercayaan publik terhadap POLRI mencapai 75 persen. Survei Litbang Kompas pada pertengahan 2024 juga menunjukkan citra positif sebesar 73 persen. Namun pada 2025, survei Civil Society for Police Watch menunjukkan kepercayaan publik anjlok hingga di bawah 50 persen, dan survei GoodStats mencatat lebih dari 60 persen masyarakat tidak yakin polisi mampu bersih dan profesional.

Fluktuasi ini membuktikan bahwa kepercayaan masyarakat sangat rapuh. Setiap kali terjadi skandal besar, kepercayaan langsung merosot. Ini menandakan perlunya reformasi mendasar, bukan sekadar pencitraan sesaat.

Catatan Problem Fundamental POLRI

Tingginya kasus pelanggaran etik, kekerasan berlebihan, hingga keterlibatan dalam praktik korupsi menyebabkan citra POLRI menurun.

Survei berbagai lembaga (misalnya LSI, Indikator Politik, atau Litbang Kompas) kerap menunjukkan tingkat kepercayaan publik fluktuatif, cenderung menurun terutama saat muncul kasus besar.

Meski secara konstitusi POLRI dipisahkan dari TNI sejak reformasi 1999, pola pikir dan kultur militeristik masih kuat: penggunaan kekuatan berlebihan dalam demonstrasi, pendekatan represif dalam penanganan konflik, hingga pola komando yang kaku.

POLRI memiliki mekanisme pengawasan internal melalui Divisi Propam, Itwasum, dan Kompolnas sebagai pengawas eksternal. Namun, praktiknya sering dianggap tidak transparan, lamban, atau bahkan melindungi oknum.

Banyaknya keterlibatan perwira tinggi Polri dalam jabatan politik atau birokrasi sipil menimbulkan pertanyaan tentang netralitas POLRI. POLRI kerap dilihat sebagai alat kekuasaan, bukan sebagai institusi netral penegak hukum. Rekrutmen anggota POLRI juga masih sering dikritik karena isu nepotisme, diskriminasi sosial, dan kurangnya merit system. Promosi jabatan sering dipengaruhi kedekatan personal atau politik, bukan semata-mata kompetensi.

Regulasi POLRI memberi kewenangan yang sangat luas: mulai dari penegakan hukum, keamanan dalam negeri, hingga intelijen. Akibatnya, sering terjadi over-extended institution yang menghambat efektivitas.

Problem yang harus diatasi tersebut diatas antara lain mencakup:

1. Kultur militeristik yang masih mendominasi pendekatan kepolisian.

2. Integritas aparat yang tercoreng oleh skandal internal dan praktik suap.

3. Politik praktis yang membuat netralitas polisi sering dipertanyakan.

4. Paradigma pelayanan publik yang belum sepenuhnya menjadi orientasi utama.

Inspirasi Model Kepolisian di Eropa dan Asia

Dalam mendorong reformasi, POLRI dapat belajar dari model kepolisian di berbagai negara. Di Eropa, model kepolisian Norwegia dan Belanda dikenal paling maju dalam hal demiliterisasi. Polisi mereka ditempatkan sebagai institusi sipil sepenuhnya, dengan penekanan besar pada community policing. Di Norwegia, sebagian besar polisi bahkan tidak membawa senjata api dalam tugas sehari-hari, kecuali dalam kondisi khusus. Fokus mereka adalah dialog, mediasi, dan pencegahan konflik. Belanda juga mengutamakan transparansi, dengan sistem pengaduan publik yang kuat dan terhubung dengan ombudsman independen.

Di Asia, model Jepang sering dianggap terbaik. Konsep koban atau pos polisi kecil di lingkungan permukiman membuat polisi hadir setiap hari dalam kehidupan masyarakat. Polisi Jepang menjalankan peran sosial, memberi edukasi, bahkan membantu tugas-tugas sipil kecil. Pendekatan ini membuat warga melihat polisi sebagai bagian dari komunitas, bukan aparat yang menakutkan. Sementara itu, Singapura menekankan integritas dan profesionalisme. Polisi di sana mendapat gaji tinggi untuk mencegah korupsi, tetapi juga diawasi ketat oleh lembaga independen yang memastikan netralitas mereka.

Kedua model ini menunjukkan bahwa kepolisian modern hanya bisa berhasil jika mengedepankan transparansi, pelayanan, integritas, dan keterlibatan komunitas.

Rekomendasi Reformasi POLRI

Berdasarkan teladan nasional dan praktik internasional, reformasi POLRI perlu diarahkan pada:

Demiliterisasi institusi, dengan pendidikan berbasis sipil, HAM, dan pelayanan publik.

Menegakkan integritas, mengikuti teladan Hoegeng, dengan seleksi ketat dan sanksi transparan.

Mengedepankan pelayanan masyarakat, dengan memperbanyak pos polisi komunitas dan mengubah paradigma dari aparat penindak menjadi mitra rakyat.

Menguatkan pengawasan eksternal, memberi kewenangan penuh kepada Kompolnas dan lembaga independen lain untuk menyelidiki pelanggaran.

Menjamin netralitas politik, dengan regulasi tegas dan sanksi keras bagi pelanggar.

Gagasan Roadmap Reformasi POLISI

Dalam jangka pendek, fokus pada revisi pendidikan polisi, penerapan teknologi transparansi seperti body camera dan sistem pengaduan online, serta pilot project polisi komunitas. Dalam jangka menengah, perluasan pos polisi komunitas, penguatan lembaga pengawasan, dan transparansi anggaran. Dalam jangka panjang, POLRI harus sepenuhnya menjadi lembaga sipil modern dengan budaya "melindungi dan melayani," serta menjaga kepercayaan publik konsisten di atas 70 persen menurut survei independen.

Reformasi POLRI adalah jalan panjang yang membutuhkan komitmen politik dan keteladanan moral. Inspirasi dari Soekanto dan Hoegeng menunjukkan bahwa polisi ideal adalah mereka yang jujur, berpihak pada rakyat, dan menolak korupsi. Sementara model Norwegia, Belanda, Jepang, dan Singapura menunjukkan bahwa kepolisian modern bisa humanis, profesional, dan tetap efektif menjaga keamanan.

Kini, saatnya POLRI meneguhkan kembali prinsip dasarnya: menjadi pelindung dan pelayan rakyat, dengan integritas dan netralitas yang tak tergoyahkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun