Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Politisi atau Profesi, Menyoal Pembatasan Periode Anggota Parlemen

26 Agustus 2025   15:39 Diperbarui: 28 Agustus 2025   18:24 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sidang Paripurna DPR (sumber: kompas.com)

Trias politica kita lupa, dan kekuasaan itu candu, yang menjadikan bunga, lupa akarnya.

Di Indonesia, kursi empuk di Senayan sering kali lebih mirip karier jangka panjang politisi ketimbang panggilan pengabdian publik. 

Banyak oknum anggota parlemen seakan menemukan profesi bergengsi paling nyaman: gaji tetap, tunjangan melimpah, fasilitas mentereng, dan yang paling nikmat "tidak ada batasan periode jabatan". 

Selama masih ada suara, entah suara rakyat atau suara modal, kursi bisa diwariskan, dirawat, bahkan dipoles seolah-olah milik pribadi. 

Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah menjadi politisi di parlemen adalah panggilan pengabdian, atau sekadar profesi yang dipegang bisa jadi seumur hidup?

Pembatasan periode anggota DPR tentu semestinya menjadi isu mendesak. Saat ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), masa jabatan anggota DPR hanya ditetapkan selama lima tahun, tapi tanpa batas berapa kali mereka bisa terpilih ulang. 

Artinya seorang politisi bisa menduduki kursi DPR hingga akhir hayatnya, menciptakan dinasti politik yang tak tergoyahkan dan menutup pintu bagi generasi baru. 

Realitas ini bisa kita lihat pada tokoh politisi yang menjabat sejak 1992 dan berpotensi mencapai 35 tahun pada 2029. Semua ini lebih mencerminkan tragedi demokrasi ketimbang prestasi. Kekuasaan lama bertahan bukan karena kinerja atau keahlian luar biasa, melainkan karena jejaring oligarki yang menutup regenerasi.

Sirkulasi politik tersumbat dan akhirnya terasa ruangnya pengap. Calon baru, terutama generasi muda atau mereka yang tidak lahir dari lingkaran elit, sulit menembus barikade. Incumben punya semua keunggulan: akses dana kampanye, pengaruh media, bahkan fasilitas bansos yang kerap digunakan sebagai alat beli suara. 

Tidak heran jika gugatan ke Mahkamah Konstitusi pada 2024 oleh seorang eks-caleg, menyoroti bahwa tanpa batas periode, hak konstitusional warga negara untuk kesempatan yang sama dalam pemerintahan hanya jadi jargon kosong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun