Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Haruskah Indonesia Tunduk dengan Hegemoni Tarif Trump?

16 Juli 2025   07:31 Diperbarui: 16 Juli 2025   15:27 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi  unfair trade (dokpri)

Ketimpangan ini mencerminkan logika neoliberal yang paradoksikal: pasar bebas diterapkan secara selektif untuk menguntungkan negara kuat. Indonesia, sebagai negara berkembang dengan ketergantungan pada ekspor, berada dalam posisi rentan. Tanpa tarif proteksi, industri lokal seperti tekstil dan agribisnis berisiko tergerus oleh produk AS yang lebih kompetitif karena skala ekonomi dan subsidi terselubung.

2. Implikasi terhadap Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Kebijakan tarif timpang ini menempatkan Indonesia dalam posisi tunduk pada tekanan "Paman Sam". Dengan menerima tarif 0% untuk impor AS, Indonesia melemahkan kemampuan untuk melindungi industri dalam negeri, yang merupakan pilar kedaulatan ekonomi. Tarif 19% untuk ekspor Indonesia ke AS akan memperburuk surplus neraca perdagangan, yang pada Januari--Mei 2025 mencapai $8,28 miliar untuk nonmigas. Penurunan ekspor berpotensi meningkatkan pengangguran di sektor ekspor utama, seperti tekstil, yang mempekerjakan jutaan tenaga kerja.  

(https://www.bps.go.id/id/news/2025/07/01/716/kinerja-positif-neraca-perdagangan-indonesia.html)

Tekanan untuk menerima kesepakatan ini dapat dilihat sebagai "coercive diplomacy" yang memanfaatkan ketimpangan kekuatan ekonomi. Dengan PDB per kapita Indonesia sekitar $5.000 (2024) dibandingkan AS yang mencapai $80.000, Indonesia memiliki daya tawar yang terbatas. Ketergantungan pada pasar AS, yang menyumbang 10,33% dari total ekspor nonmigas pada 2024, membuat Indonesia rentan terhadap ancaman ekonomi seperti tarif tinggi atau pembatasan akses pasar. (https://fiskal.kemenkeu.go.id/publikasi/siaran-pers-detil/599)

3. Dampak Neoliberalisme terhadap Pembangunan Nasional

Dalam kerangka neoliberal, liberalisasi perdagangan dianggap mendorong efisiensi dan pertumbuhan. Namun, bagi negara berkembang seperti Indonesia, realitasnya sering kali berbeda. Tarif 0% untuk impor AS berpotensi membanjiri pasar lokal dengan barang Amerika, menghambat perkembangan industri domestik. Sebagai contoh, sektor agribisnis seperti peternakan sapi dan kedelai telah lama tertekan oleh impor AS yang lebih murah karena subsidi pertanian. Studi LIPI (2023) memproyeksikan bahwa liberalisasi tanpa proteksi memadai dapat mengurangi kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB Indonesia hingga 2% dalam lima tahun.  

Tarif 19% untuk ekspor Indonesia ke AS akan memperburuk ketimpangan dalam rantai pasok global. Produk Indonesia, yang sering berada di segmen rantai nilai rendah (bahan baku atau barang setengah jadi), akan sulit bersaing dengan produk dari negara lain yang mendapatkan akses tarif lebih rendah. Hal ini menghambat agenda hilirisasi Indonesia, yang telah meningkatkan nilai ekspor nikel dan minyak kelapa sawit, seperti terlihat dari pertumbuhan ekspor nonmigas sebesar 6,98% pada Januari--Mei 2025.

(https://www.bps.go.id/id/news/2025/07/01/716/kinerja-positif-neraca-perdagangan-indonesia.html)

Tunduk pada Hegemoni Ekonomi

Kebijakan tarif timpang ini mencerminkan hegemoni ekonomi AS yang memanfaatkan unilateralisme untuk mempertahankan dominasi dalam perdagangan global. Dengan memaksakan tarif 0% untuk impornya dan 19% untuk ekspor Indonesia, AS memaksa Indonesia mengorbankan kepentingan nasional demi akses pasar. Ini adalah bentuk "neoliberalisme paksaan", di mana prinsip pasar bebas hanya menguntungkan pihak yang lebih kuat. Surplus perdagangan Indonesia sebesar $17,9 miliar pada 2024 menjadi pemicu kebijakan proteksionis AS, yang menurut laporan USTR (2025) dipicu oleh kebijakan tarif dan non-tarif Indonesia yang dianggap menghambat akses pasar AS.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun