Dalam lanskap ekonomi global, unilateralisme dan neoliberalisme sering kali menjadi dua kutub yang saling bertentangan namun saling memengaruhi. Unilateralisme, yang ditandai dengan kebijakan sepihak oleh negara-negara kuat seperti Amerika Serikat (AS), kerap digunakan untuk memaksakan kepentingan nasional di panggung internasional. Sebaliknya, neoliberalisme, dengan penekanannya pada pasar bebas, deregulasi, dan liberalisasi perdagangan, sering menjadi alat untuk memperkuat hegemoni ekonomi negara-negara maju. Dalam konteks hubungan perdagangan Indonesia-AS, wacana kebijakan tarif perdagangan sebesar 19% yang diusulkan oleh pemerintahan Donald Trump pada 2025 mencerminkan tekanan unilateral yang memaksa Indonesia untuk tunduk pada logika neoliberal yang timpang. Esai ini mengkritik tajam tawaran tarif perdagangan yang tidak seimbang---0% untuk impor dari AS ke Indonesia dan 19% untuk impor dari Indonesia ke AS---serta implikasinya terhadap kedaulatan ekonomi Indonesia, dengan mempertimbangkan dinamika neraca perdagangan bilateral selama periode 2020--2025.
Unilateralisme dalam Kebijakan Perdagangan Trump
Unilateralisme dalam kebijakan perdagangan AS di bawah pemerintahan Trump (2017--2021, dan diasumsikan berlanjut pada 2025) ditandai dengan pendekatan "America First" yang mengutamakan kepentingan domestik AS. Salah satu manifestasinya adalah pengenaan tarif tinggi terhadap berbagai negara mitra dagang, termasuk sekutu dekat seperti Uni Eropa dan Kanada, untuk melindungi industri dalam negeri. Dalam skenario 2025, pengenaan tarif 19% untuk barang impor dari Indonesia, sementara Indonesia diminta menerapkan tarif 0% untuk impor dari AS, mencerminkan kelanjutan pendekatan ini. Kebijakan ini tidak hanya mencerminkan proteksionisme AS, tetapi juga tekanan politik untuk memaksa Indonesia masuk ke dalam kerangka perdagangan neoliberal yang menguntungkan AS.
Neraca Perdagangan Indonesia-AS (2020--2025)Â Berdasarkan data yang tersedia, neraca perdagangan Indonesia dengan AS secara konsisten mencatat surplus sejak Mei 2020 hingga Mei 2025, menjadikannya tren positif selama 61 bulan berturut-turut. Berikut adalah gambaran neraca perdagangan bilateral berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan sumber lainnya: Â
- 2020: Ekspor Indonesia ke AS mencapai $18,62 miliar, sementara impor dari AS sebesar $8,58 miliar, menghasilkan surplus $10,04 miliar. Â [](https://money.kompas.com/read/2025/04/06/151752126/neraca-perdagangan-ri-selalu-surplus-terhadap-as-pada-2020-2024-ini-datanya?page=all)
- 2021--2022: Surplus perdagangan meningkat signifikan, mencapai puncaknya pada 2022 dengan nilai $16,56 miliar, didorong oleh ekspor komoditas nonmigas seperti tekstil, alas kaki, dan mesin listrik. Â [](https://ekonomi.bisnis.com/read/20250403/12/1866477/neraca-dagang-ri-as-periode-2015-2024-setelah-tarif-trump-tetap-surplus)
- 2023: Surplus sedikit menurun menjadi $11,96 miliar akibat fluktuasi permintaan global dan kebijakan perdagangan AS yang mulai proteksionis. Â
- 2024: Surplus meningkat kembali menjadi $14,37 miliar, naik 20,15% dari tahun sebelumnya, dengan ekspor nonmigas ke AS mencapai $29,5 miliar dan impor dari AS sebesar $10,2 miliar. Komoditas utama penyumbang surplus adalah mesin dan perlengkapan elektrik ($3,69 miliar) serta pakaian dan aksesori rajutan ($2,48 miliar).Â