Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Prabowo Sebagai Duta Pencegahan Disintegrasi?

25 Januari 2017   06:32 Diperbarui: 25 Januari 2017   20:53 2537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: kompasmetro.net

Senin lalu (23/01), sebuah surat kabar nasional milik bekas menteri yang merangkap tersangka korupsi memberitakan kabar baik: "Gerindra Tawarkan Prabowo Jadi Duta Pencegah Disintegrasi," demikian judulnya. Dikabarkan, Pak Sufmi Dasco, Waketum Gerindra itu menilai, percakapan di sosial media saat ini berpotensi berujung pada disintegrasi bangsa. Ia menilai ada pihak-pihak yang berupaya mempertentangkan kelompok religius dengan kelompok nasionalis yang selama ini hidup damai.

Mewakili Gerindra, Pak Sufmi tampaknya hendak membuktikan jika Gerindra tidak sekadar prihatin. Pernyataan Pak Sufmi rupanya memiliki ekor, yaitu menawarkan tokoh partainya, Pak Prabowo, sebagai duta pencegah disintegrasi bangsa.

Ini jelas usulan menarik. Pertama karena usulan ini "out of the box." Sudah lama khalayak terbiasa dengan ide duta (dalam makna campaigner, bukan perwakilan pemerintah di negara lain) lebih pantas berasal dari kalangan artis yang imut-imut. Contohnya: Agnes Mo (Duta Anti Narkoba se-Asia), Melanie Subono (Duta Anti Perbudakan), Afgan (Duta HKI), Maudi Koesnaedi (Duta Maritage), atau Ayu Tingting (Duta Pajak). Jarang terpikirkan seorang bekas perwira tinggi serdadu dengan suara menggelegar bisa juga jadi duta. Dijamin bakal jadi tontonan mengasyikkan jika Pak Prabowo berdiri sepanggung bersama Afgan dan Ayu Tingting dalam sebuah acara amal kementrian sosial, misalnya. Ini terobosan, seperti jika Van Dame menjadi bintang iklan produk kecantikan. Bagus, merdeka dari bias maskulinitas. Lepaskan sejenak gawai kita, mari bertepuk tangan.

Kedua, ada trend positif para sepuh bangsa berlomba-lomba sumbang kebaikan untuk negeri. Jika sudah ada yang merelakan waktu untuk mendoakan bangsa lewat media sosial, maka harus ada pula yang mondar-mandir menjadi duta urusan berdamai-damaian. Pok pok pok pok ... mari bertepuk tangan lagi.

Ketiga, sayangnya, sorry to say, inisiatif ini terganjal kejanggalan. Lazimnya "tali penyambung" atau "jembatan" bagi dua kubu bertikai --meminjam istilah Pak Sufmi-- adalah pihak netral. Pak Prabowo mungkin saja netral sebab belum terdengar pernyataan terbukanya yang tampak memihak satu kubu. Suatu kesempatan ia mengatakan setiap warga negara berhak berujukrasa adalah pernyataan normatif yang tepat karena memang demikianlah sejatinya. Tetapi tampaknya tidak demikian dengan anak buahnya, sejumlah nama di jajaran kepemimpinan Gerindra yang dinilai publik berada di barisan depan salah satu kubu.

Sebut saja misalnya Pak Fadli Zon, Pak Kivlan Sen, dan Pak Habibur Rahman. Mungkin ketiga tokoh puncak Gerindra ini sebenarnya sekadar menjalankan kewajiban yang menurut mereka benar sebagai politisi, bekas jenderal yang berpolitik, dan pengacara. Hanya saja publik memang tidak bisa disalahkan atas penilaian mereka berdasarkan tindakan konkrit orang-orang itu: Pak Fadli ikut berorasi dalam berbagai unjuk rasa berbau sentimen agama; Pak Habibur Rahman memimpin tim pengacara kubu FPI; dan Pak Kivlan yang ikut membidani PAM Swakarsa (FPI salah satu komponennya) kini disangka makar. Tentu! Siapa bisa salahkan persepsi, apalagi jika nyata pendasarannya?

Keempat, penilaian bahwa ada benturan antara barisan nasionalis dengan religius sebenarnya terkesan mengada-ada (Apakah ini yang para remaja katakan lebai itu?). Yang beta tahu Pak Jokowi sedang akrab dengan Kyai-kyai NU, sementara Pak Din selalu Ketua Muhammadyah masih mengkritik dalam tataran yang wajar, sebagaimana ketika ia bersama pemuka agama lain mengkritik pemerintahan SBY. Beta setuju, selain Jokowi dan partainya, masih banyak elemen bangsa yang lebih pantas dinilai nasionalis. Tetapi soal religius, apa lagi selain NU dan Muhammadyah? Religius yang mana lagi? Lalu siapa pula yang hendak membenturkan? Apakah Pak Sufmi menyindir rekan separtainya, Pak Fadli?

Begitulah. Menarik, bukan?

Jadi jika Anda sedang berada di sebuah kedai kopi dan melihat seorang pria sedang bertepuk tangan namun gurat-gurat di dahinya menandakan bingung melanda, orang itu pastilah beta. Bukan! Tidak lagi soal duta-dutaan ini. Beta sudah lupa. Sekarang beta sedang menonton, bertepuk tangan sambil bingung menafsir video Rendra membawakan puisinya. Itu lho, yang berjudul "Sajak Pertemuan Mahasiswa."

Kalau Anda lupa, beta tuliskan satu bait saja ya agar ingat.

Kita bertanya:
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.
Orang berkata "Kami ada maksud baik."
Dan Kita bertanya:“Maksud baik untuk siapa?"

Nah, sekarang ingat kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun