Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tolak Komodifikasi Vaksin Covid-19, Jadikan Posyandu Sebagai POD

24 Agustus 2020   14:05 Diperbarui: 25 Agustus 2020   20:59 1858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Posyandu [sumber: Kompas.com]

Miris. Saat mayoritas rakyat berjibaku menahan kejatuhan tingkat kesejahteraan, mengais peluang pekerjaan apapun demi mempertahankan asap dapur, menghadapi risiko kematian tertular Covid-19 demi tetap bisa menafkahi keluarga; segelintir orang-orang beruntung justru memikirkan peluang untung besar-besaran.

Meskipun berstatus BUMN, Kimia Farma dan Indofarma adalah perusahaan yang listing di bursa efek. Sekitar 10 % saham Kimia Farma dikuasai masyarakat. Di Indofarma, penguasaan pemerintah (Bio Farma selaku Holding BUMN Farmasi) hanya 80,69 persen. Sisanya dikuasai PT Asabri (Persero) - Dapen TNI (13,91%) dan masyarakat (5,40%).

Itu berarti, andai vaksi Covid-19 didistribusikan lewat mekanisme perdagangan melalui jaringan apotek Kimia Farma dan jaringan distribusi Indofarma, keuntungan besar-besaran yang dihasilkan dua perusahaan ini sebagian akan mengalir ke kantong investor publik dan sebagai bonus kepada jajaran direktur dan komisarisnya.

Ironis. Komisaris dan direktur menikmati bonus dari kinerja palsu, kinerja yang hanya bisa terjadi karena monopoli yang disediakan pemerintah.

Mengapa Vaksin Covid-19 Jangan Dijadikan Komoditas

Hemat saya, penolakan komodifikasi vaksin Covid-19 bukan sebatas karena ketidaksukaan terhadap aji mumpung komisaris dan direktur serta orang-orang kaya pemegang saham perusahaan pedagang obat yang menempatkan bencana kesehatan sebagai durian runtuh. Alasan pokok penolakan komodifikasi vaksin Covid-19 adalah agar seluruh rakyat dapat mengaksesnya. Harga selalu merupakan barrier bagi sebagian orang untuk mengakses.

Sebenarnya bisa saja hanya sebagian rakyat yang mendapat vaksin. Jika penerima vaksin mencapai proporsi tertentu dari keseluruhan masyarakat, akan tercipta efek herd-protective tidak langsung sebab terjadi penurunan transmisi antar individu dan dengan demikian menurunkan pula risiko penularan terhadap masyarakat yang tidak mendapat vaksinasi.[4. Lihat Angelmar, Reinhard & Morgon, Pierre. (2012). Vaccine Marketing]

Akan tetapi pendekatan penciptaan herd-protective effect hanya cocok digunakan untuk preventive vaccines, yaitu pemberian vaksin terhadap penyakit yang belum menjadi wabah.

Distribusi preventive vaccine biasa dilakukan dengan metode open and pull. Vaksin disediakan di klinik-klinik kesehatan. Masyarakat yang membutuhkan harus membayar untuk mendapatkannya.

[Baca juga: "Persiapkan Sistem Distribusi Vaksin agar Tidak Dibajak Pemburu Rente"]

Vaksin Covid-19 bukan preventive vaccine melainkan therapeutic vaccines. Covid-19 sudah menjadi pandemi global dan tersebar merata pada semua kategori geografis, demografis, dan grup sosial. Distribusi vaksinnya tidak bisa lagi bersifat diskriminatif entah itu berdasarkan kemampuan membayar ataukah subsidi terhadap golongan masyarakat yang mandatory karena paling berisiko.

Jika mau dipaksakan juga metode distribusi yang mandatory hanya kepada sebagaian penduduk, mekanismenya akan sangat rumit. Hemat saya, penduduk harus diundi dengan metode cluster random sampling  sekaligus stratified random sampling di setiap klaster.

Mengingat Indonesia sangat lemah dalam administrasi kependudukan, cara di atas sangat sulit berhasil. Jalan paling masuk akal adalah seluruh penduduk harus divaksinasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun