Aku menatap langit Jogja yang biru, tersenyum. "Aku pulang," bisikku pelan.
Setelah mengambil koper, aku berjalan ke luar stasiun. Di tengah keramaian, langkahku tiba-tiba berhenti. Dari kejauhan, aku melihat sosok yang tak asing: jaket denim biru, ransel hitam. Pemuda tadi. Ia juga baru keluar dari kereta, terlihat sedang menelepon seseorang.
Tanpa sadar aku mendekat sedikit, sekadar ingin memastikan. Ia menoleh, lalu pandangan kami bertemu. Sekali lagi, senyum itu muncul.
"Mbak 5A yang salah gerbong, ya?" candanya.
Aku tertawa, kali ini lebih lepas. "Iya, maaf ya tadi sempat ganggu kursimu."
"Enggak apa-apa, malah lucu. Jarang-jarang ada orang salah gerbong tapi bisa santai begitu."
"Kalau panik nanti malah makin malu," jawabku sambil tersenyum.
Ia tertawa kecil. "Saya Dikta," katanya sambil mengulurkan tangan.
"Arina," balasku, menjabat tangannya sebentar.
Kami berjalan keluar stasiun bersama. Ternyata arah kami sama ke selatan, menuju Malioboro. Ia hendak menghadiri seminar di UGM, sementara aku akan pulang ke rumah di Kotabaru. Obrolan mengalir begitu saja, mulai dari cerita tentang Purwokerto, sampai makanan khas yang kami suka.
Sesekali aku menatapnya dari samping. Ada sesuatu yang hangat dalam caranya bicara tulus dan sederhana, seperti Jogja itu sendiri.